Menatap layar yang disorot proyektor siang ini dengan tajam. Mata saya dengan pasti mengikuti setiap data yang dipaparkan. Dan memang, meskipun pergerakan iklan secara nasional naik dengan cukup signifikan tiap tahunnya, dan sepanjang tahun 2006 bahkan menembus Rp 27 Triliun, namun manisnya kue yang dirasakan oleh industri majalah tidak sampai Rp 1 Triliun. Cuma Rp 917 Miliar,tepatnya. Jika kita tarik dalam 5 tahun terakhir, maka dengan perhitungan yang cukup sederhana dan cepat sekalipun, dapat disimpulkan industri ini tidak punya pertumbuhan yang cukup. Slope-nya terlalu kecil, artinya kalo mau main proyeksi maka sungguh trennya ga akan beda jauh. Industri ini sudah mature, market don’t growth anymore….
Kenyataan yang berat memang. Secara alamiah, bisnis membutuhkan growth untuk mengimbangi semakin tingginya kebutuhan biaya-biaya. Bagaimana karyawan lebih sejahtera pada tahun depan, dengan kata lain, bagaimana perusahaan bisa berikan perbaikan gaji jauh lebih tinggi dari inflasi yang bakal diterima karyawan sepanjang tahun.
Sebagian orang semakin takut melihat angka ini, apalagi ancaman dari direct kompetitor baru seperti majalah bebas (free magazine) sudah mulai nyata. Secara pasti kompetitor baru yang bermunculan sudah meraup total 25% dari angka yang ga sampai Rp 1 T itu. Semakin ketakutan mencekam, saat menyadari era digitalisasi sudah semakin menggerus cara-cara konvensional dalam mengkonsumsi sebuah produk media cetak.
Syukurlah, ketakutan itu tidak terlalu lama. Dan sudah sepantasnya optimisme berkembang. Dengan kompetensi inti yang kokoh seperti saat ini, sudah selayaknya melihat ancaman dari sebuah perubahan juga sebagai peluang bisnis yang menggiurkan.
Ada banyak hal yang harus digeser dan re-definisi. Pertama konsepsi oplah. Digitalisasi akan menawarkan oplah dalam kuantitas yang mengagumkan. Untuk Indonesia saja, angka 56 juta ponsel adalah jaminan dari potensi pasar yang luar biasa. Plus, kita ga perlu pusing lagi memikirkan makhluk bernama retur, bukan? Demikian pula masalah iklan. Yang perlu dipikirkan tinggallah platform IT yang mendukung perubahan pola konsumsi ini.
Demikian pula dengan perlunya business development yang agresif untuk mencari celah baru berbasis kompetensi inti yang dimiliki sebuah media cetak. Ada banyak hal yang bisa digarap. Tinggal membutuhkan kejelian, toh selain pusat informasi, sebuah media juga menguasai jejaring (network).
Jadi mengapa harus takut?
(ada buku bagus untuk referensi situasi seperti ini selain blue oceannya prof Chan. Yaitu bukunya Richard Wise, Adrian J. Slywotzky, How to Grow When Market Don’t)