Mbah Dauzan Farook : Berjuang Hingga Titik Akhir

Sangat bersemangat. Itulah yang terjadi dalam diri saya menjelang kepergian 4 hari ke Yogya 30 Desember 2006-2 Januari 2007. Jauh-jauh hari, saya sempatkan membeli buku dari bazaar buku Gramedia. Dan pada detik terakhir dapat sumbangan setumpuk majalah SWA sepanjang 2006 atas kebaikan Kepala Seksi saya, Ibu Susi Sulistyorini. Bersemangat untuk menuntaskan sebuah nadzar, bertemu Mbah Dauzan Farook, untuk sekedar berbincang dan memberi sedikit tambahan koleksi buku untuk amal jariyah saya dan ortu saya.

Alhamdulillah, niat ini terlaksana dengan mudah tanpa halangan apapun. Begitu mudah saya dan sahabat saya (Deden) menemukan rumah beliau di Kauman GM1/328. Padahal meskipun keturunan dari wong Jogja dan pernah bekerja hampir 2 tahun di kota ini, saya jauh dari faham seluk beluk daerah sana ;-). Rumah kuno yang besar, namun agak tak terawat. Dari ruang tamu hingga ruang tidur dipenuhi buku dan majalah.

Sebenarnya pertemuan pertama terjadi di layar kaca. Pada program sisi lain tepatnya, ketika beliau diwawancara menyangkut perpustakaan kelilingnya (Mabulir : Majalah Buku Bergulir). Sensasinya sangat dahsyat. Saat menyaksikan perjuangan beliau untuk kesekian kali, jiwa saya terguncang dengan pertanyaan pada diri sendiri, apa yang telah kuberikan pada umat? dan masih layakkah aku merengek untuk surgaNya? Ya…mbah Dauzan adalah veteran perang kemerdekaan yang masih berjuang dalam ketuaannya. Menggenjot sepedanya untuk mendatangi dan membagikan buku/majalah pada 100 pusat bacaan, tenggelam berjam-jam dalam bengkel buku untuk memperbaiki kondisi buku yang telah rusak, dan sangat bersemangat untuk mengajak orang lain membaca. Sosok yang benar-benar membuatku malu pada diri sendiri untuk kesekian kali.

“Capek sih capek, tapi hidup adalah perjuangan. Dulu saya berjuang dengan taruhan nyawa dalam perang kemerdekaan, tapi sekarang saya berjuang dengan semua tenaga dalam perang melawan kebodohan dan kemiskinan.” Jawabnya saat ku tanyakan alasan dirinya untuk terus mengelola Mabulir. “Dan insya Allah, saya hanya mengusahakan amal kebaikan. Dan amal kebaikan inilah yang akan membimbing bibir saya mengucapkan La illaha ila Allah, saat maut menjemput kelak.”

Saya menangkap semangat luar biasa dari pejuang tua ini. Baginya saat ini kekuatan bukan lagi otot seperti masa kemerdekaan, melainkan pengetahuan. Lewat membaca manusia akan mempunyai keunggulan untuk bersaing. Itu sebabnya Ia tak akan pernah letih menyerukan semangat membaca, semangat melawan kebodohan.

Akhirnya, hampir 3 jam kami berbincang sambil diselingi sesi foto. Dan di saat mengantar kami di pintu keluar, beliau menepuk bahu saya, “Le (Tole=Anak),Semoga kebaikan kalian ini menjadi sebuah amal jariyah. Amal yang kelak terus mengalir.” Tentu saja mengamini adalah jawabanku atas doanya. Namun doa dari dalam relung hatiku,”Ya Tuhan, lindungilah segala kebaikannya dari godaan ria’, berilah tempat yang terbaik bagi dirinya seperti yang telah Engkau janjikan….dan jagalah segala kearifannya tetap abadi, untuk menerangi peradaban ini dengan semangat amal ma’ruf nahi munkar.”

Author: Arief Adi Wibowo

Experience Business Executive, Lecturer at Universitas Indonesia (Communication Science/Media Management), Wakil Sekretaris Umum Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama/Ketua IKA Unair/Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s