Teori Re/DeCoupling dan Kompleksitas Wong Solo

Memeriksa kereta kuda yang dinaiki Kresna (kode untuk Jokowi)

Terdengar kabar di medio 2022, Pak Jokowi ‘sambat’ ke beberapa orang (ada pemred, surveyor, ulama) di beberapa kesempatan. “Ada dua orang yang bikin kepala saya pusing karena tidak ketemu keinginannya (untuk 2024).” Orang yang dimaksud adalah Pak Surya Paloh dan Bu Mega.

Kemudian fenomena politik yang dibaca terbuka oleh publik adalah Surya Paloh umumkan 3 bacapres hasil rakernas NasDem (Anies, Ganjar, Andika) yang kemudian akan dia pilih salah satunya. Konon Luhut bolak-balik menemui Surya Paloh agar nama Anies tidak dideklarasikan. Karena dianggap perubahan akan mengancam keberlanjutan program Jokowi.

Tekanan-tekanan terjadi bahkan sebelum deklarasi sosok Anies. Tapi sebagai Ketua Umum partai, Surya Paloh menghitung benar arus keinginan perubahan di masyarakat itu eksis dan signifikan. Itu yang membuat Surya Paloh tidak bergeming, dan dengan ucapan lantangnya,”NasDem tidak membebek.”

Kode-kode keras istana dapat dibaca dalam konteks komunikasi politik sebagai tanda ketidaksukaan atas pilihan politik Surya Paloh. Di mulai dari “cawe-cawe” di pilpres sampai rambut uban untuk mendesak Megawati segera deklarasikan Ganjar.

Bu Mega pun ternyata sama, meskipun berbeda gaya. Pencapresan/cawapres adalah otoritas mutlaknya sebagai Ketua Umum Parpol, dengan mandat hak prerogatif dari Konggres PDIP sebelumnya. Peristiwa deklarasi Ganjar di Batu Tulis, konon adalah benih perpecahan, karena info beredar ada kontrak politik antara Bacapres dengan Bu Mega yang tidak membuat nyaman Wong Solo untuk leluasa ikut menentukan arah paska 2024.

Dalam matematika, teori decoupling berkembang sebagai lanjutan analisa Fourier untuk mempelajari pola interferensi yang terjadi ketika kita menambahkan fungsi-fungsi dalam transformasi Fourier yang diimplikasikan dalam batasan-batasan (boundaries) wilayah baik untuk persamaan linear maupun non linear. Implikasi teori ini luas, termasuk di bidang yang saya tekuni sekarang persoalan migas. Pola De(Re) coupling minyak dengan gas dan air penting dipelajari dalam teknik reservoir untuk mencapai optimasi output lifting.

Permasalahan politik lebih pelik karena banyak faktor yang tidak bisa diamati (unobserver) dan bersifat sangat dinamis. Proses decoupling dimulai Jokowi dengan membangun narasi “pemberani” sebagai atribut terpenting calon penerusnya yang ditebak publik sebagai bergesernya pilihan ke sosok mantan kompetitornya di dua pilpres: Pak Prabowo Subianto.

“Tenang Pak Prabowo, saya di sini.” Ucapan Gibran yang bermakna dalam dan sangat kuat ke akar relawan dan simpatisan Gibran, yang suka tidak suka harus dihitung sebagai representasi Jokowi. Apalagi setelah melalui ‘perjalanan dramatis’ lewat Mahkamah Konstitusi (MK), wajar publik bertanya-tanya, apakah orang nomer satu di Republik ini akan netral dan tidak condong ke figur Prabowo.

Seperti analisa banyak pakar dan polster politik, diakui atau tidak PDIP jelas terganggu secara elektoral lewat aksi decoupling Jokowi di saat terakhir ini (pemilu tinggal 4 bulan). Banyak hasil survei termasuk indikator menyebutkan sekitar 20% konstituen PDIP condong ke Jokowi, dibanding sosok Megawati sekalipun di kisaran 3%. Dan baik melalui anak dan mantunya, representasi Jokowi terbukti pakem di Pilkada.

Narasi politik dinasti mengemuka sebagai kontra narasi terhadap Jokowi. Analisa ‘social network’ pada media sosial, ada kecenderungan digerakkan oleh buzzer dan simpatisan PDIP. Dan, Prabowo sendiri turun tangan mematahkan argumentasi politik dinasti dengan menyebut dirinya sendiri bahkan parpol lain (termasuk PDIP) menganut politik dinasti, dan itu baik saja dalam konteks mengabdi pada negara.

Wong Solo, sejatinya pribadi yang kompleks perhitungannya. Sebagai orang Jawa, ia termasuk detil menghitung langkah keputusan dalam kehidupannya dengan melibatkan banyak variabel (direct maupun indirect), baik fisis maupun meta-fisis. Pola decoupling ini tidak hanya mencemaskan kompetitor Prabowo-Gibran, namun berpengaruh secara elektoral bagi partai (di luar PDIP, NasDem, PKB dan PKS) di Pemilu Legislatif.

Saya mencatat adalah Romahurmuzy (elite PPP), ia mencoba melakukan upaya recoupling dengan figur Jokowi dengan statement bahwa semua figur Bacapres/Bacawapres (kecuali Anies) di-endorse oleh Wong Solo. Saya melihat kekhawatiran PPP yang secara elektoral tidak mendapat manfaat dari proses decoupling Jokowi-PDIP. Mengapa?

Karena dalam dialektika tersebut, menguntungkan PDIP yang mendapat eksposur tinggi dalam ruang publik. PPP termasuk parpol yang tidak mendapat efek ekor jas ketika Sandiaga Uno gagal mentas di panggung Pilpres. Di sisi lain, relawan dan simpatisan Jokowi (jika dikonsolidasi dengan baik) akan mengerucut ke PSI atau bahkan PAN. Atau di luar elektoral, seperti faktor logistik yang akan menjadi dilema tersendiri jika frontal terhadap Wong Solo. PPP sendiri terancam tidak lolos ambang batas parlemen!

Faktor decoupling PDIP-Jokowi sendiri tidak akan mengganggu elektoral PDIP di Pileg (tercermin di hasil survei). Representasi menteri/wamen/kepala lembaga tinggi (meliputi BIN dan Kejakgung) termasuk Cawapres Mahfud MD – yang dominan di kabinet Jokowi adalah jaminan logistik dan keluwesan kerja elektoral partai. Namun, untuk konteks Pilpres akan berbeda.

Salah satu cara agar pola interferensi Jokowi tidak merugikan Capres/Cawapres Ganjar-Mahfud MD adalah menekan turun approval rating Jokowi. Proposisi bahwa approval rating Jokowi akan berpengaruh positif terhadap Prabowo-Gibran, inilah yang akan dipatahkan. Tetapi manuver ini juga menghadirkan dilema tersendiri, semakin jeblok rating Jokowi, semakin menguntungkan bagi koalisi perubahan yang mengusung Anies-Muhaimin.

Jokowi sepertinya sudah menghitung kondisi di atas. Tanpa heboh di ruang publik, bansos seperti beras dan BLT dilanjutkan hingga akhir 2023. Dan mungkin akan berlanjut dalam APBN 2024. PDIP agaknya pun tidak masalah dengan ini, karena penyaluran bansos itu melalui Kementerian Sosial di mana elite mereka menduduki jabatan sebagai menteri.

Cara lain yang terbaca di ruang publik adalah mendelegitimasi produk MK, sebagai syarat berlaganya Gibran. Proses ini terus menerus masih diikhtiarkan oleh koalisi Ganjar-Mahfud, meski mayoritas parpol (termasuk Koalisi Perubahan) sendiri sudah menyatakan keputusan MK final dan mengikat. Dan, juga diikuti KPU yang sudah menjalankan tahapan Capres/Cawapres di fase tes kesehatan. Bagaimana dengan publik? Lagi-lagi terbelah. Jika melihat hasil lembaga survei besar, mayoritas publik mendukung saja hasil MK atau malah tidak peduli.

Pertanyaannya apakah proses decoupling politik ini akan memunculkan gesekan kuat seperti pemilu 2014 dan 2019? Analisa saya tidak sekeras itu dan cenderung sejuk terhadap 3 poros ini. Andai, Ganjar Mahfud menang maka isu selesai karena dominasi di eksekutif dan legislatif. Kalau pun Prabowo-Gibran, ada ruang bargaining untuk ‘recoupling’ dalam konfigurasi kabinet. Kecuali Megawati berkehendak lain, PDIP menjadi oposisi di parlemen. Kalau Anies-Muhaimin menang, dinamika politik akan menarik karena kontrol dan pengawasan parlemen akan sangat kuat.

Apapun skenario yang akan menjadi kenyataan politik, harapan saya sebagai anak bangsa, praktisi dan akademisi adalah persatuan dan kesatuan sebuah keniscayaan bagi negara besar dan majemuk ini. Indonesia yang harus dimenangkan. Dan itu berarti mekanisme demokrasi di 2024 harus mampu menghadirkan kepemimpinan nasional yang kuat dan berkarakter baik di eksekutif maupun legislatif. Amiin yaa Rabbal alamiin.

Author: Arief Adi Wibowo

Experience Business Executive, Lecturer at Universitas Indonesia (Communication Science/Media Management), Wakil Sekretaris Umum Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama/Ketua IKA Unair/Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia.

2 thoughts on “Teori Re/DeCoupling dan Kompleksitas Wong Solo

Leave a comment