Seorang yunior meminta waktu bertemu pada suatu sore. Dia bercerita rencana dirinya menemani salah satu stafsus dan minta restu. Dengan semangat dia cerita bahwa pekerjaannya kelak akan “behalf of Presiden”. Saya cuma tersenyum mendengar antusiasmenya.
Saya cuma bilang, selain gaji lebih tinggi, kamu harus siap dengan kompleksitas istana. Namun, bekerja dalam pengabdian pada negara itu sangat mulia, jadi berangkat saja. Pesan saya cuma satu, jaga nama baik beliau. Karena ayahandanya berjuang sepanjang hayat untuk diri, keluarga maupun usahanya dengan menjaga nama baiknya. Nama baik barang paling mahal dalam hidup.
Setelah pertemuan kami, saya lebih banyak komunikasi via WA berisi pertanyaan dia tentang latar belakang seseorang hingga kemungkinan jebakan politik pada program yang akan mereka lakukan. Semangatnya luar biasa. Mereka sudah memikirkan negara di usia belia, sementara saya masih asyik urusan duniawi 😁
Beberapa hari lalu, saya mendapat forward-an WA berisi surat berkop Sekretariat Negara yang ditujukan pada para camat oleh seorang stafsus. Intinya dukungan atas perusahaan dia dalam menjalankan program sosialisasi Covid 19. Saya langsung bergumam,”offside ini Mas Stafsus.”
Benar saja isu menggelinding di media massa. Netijen pun dengan kejam mencibirnya. “Millenial rasa kolonial” dan bla..bla..bla..Dan dalam kasus si Mas Stafsus dengan kop surat ini, layak dia di-bully. Bahkan dia layak mundur. Karena dia telah melampaui batas. Apakah murni ada itikad jahat atau ‘terjebak’ permainan sekelilingnya, harus ditelusuri lagi.
Sorot tajam media dan netijen kemudian mengincar Mas Stafsus satu lagi yang merupakan pendiri platform pembelajaran digital besar. Namun menurut saya, kali ini media dan publik harus menggunakan obyektifitas dan tidak terburu menjatuhkan vonis. ‘Mas Stafsus Satu Lagi’ ini sudah menyatakan mundur, ini memang jalan menyenangkan semua pihak dan terlihat ‘politically correct’.
Tapi perlu dikaji lagi keterlibatan beliau dengan mencek kebenaran ucapannya bahwa perusahaan yang sekarang dikelola pendiri yang lain telah melewati prosedur tender, bukan penunjukan langsung dan ia pun tidak terlibat dalam proses itu. Jika benar semua berlangsung sesuai prosedur seperti pengakuan ‘Mas Stafsus Satu Lagi’, menurut saya, beliau tidak perlu mundur.
Kita sering mengeluhkan ruang politik dipenuhi oleh para oportunis dan petualang ‘pencari kerja’, politik dihindari oleh sebagian besar kaum muda millenial, hingga akhirnya sering kita saksikan produk politik tidak membawa mashlahat bahkan pelaku politik berakhir dalam jeruji karena penyelewengan. Mungkin ini maksud Presiden Jokowi menghadirkan figur-figur muda dalam lingkar kekuasaannya, sebagai kawan diskusi untuk memberi perspektif berbeda dengan sistem birokrasi dan para pembantunya yang produk lama.
Karena figur-figur millenial ini masih minim pengalaman, bahkan mungkin sebelum tidak pernah bersentuhan dengan birokrasi, seharusnya ada pendampingan yang baik.
Covid 19 membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan. Sebagai krisis, segala tindakan harus cepat tapi juga akurat, tepat dan transparan. Sejak awal, saya termasuk golongan yang mempertanyakan isi Perppu no.1 Tahun 2020, terutama pasal 27 yang menyatakan perubahan anggaran Covid ini bukan termasuk kategori keuangan negara. Dengan kata lain, tidak bisa menjadi dasar penyidikan baik BPK maupun KPK, karena tidak ada potensi merugikan negara. Dan ini mengerikan untuk anggaran sebesar 405 Triliun yang dialokasikan untuk penanganan Covid 19.
Saya mencoba berbaik sangka dengan para perumus Perppu ini sebagai upaya mereka melindungi para pengambil kebijakan untuk dapat bertindak cepat tanpa takut urusan hukum. Tapi sebagai negara konstitusi, check and balance adalah prinsip mutlak dalam tatanan kita. Eksekutif tetap harus diawasi legislatif agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Untuk itu transparansi dan kepatuhan pada regulasi harus ada.
Ketika ada celah hukum seperti pasal 27 Perppu No.1 Tahun 2020 ini, kalau millenial berwatak kolonial saja bisa meraba ini sebagai peluang mendapat keuntungan dari bencana Covid 19 ini, apalagi kolonial beneran, bukan?