CORONA DAN INTERAKSI MANUSIA

Hikmah dari Virus Corona bagi saya adalah terbukanya kembali komunikasi dengan sekelompok kawan lama 😅. Loh kok bisa? Ada beberapa kawan yang mungkin saking ‘sepet’ matanya memutus hubungan pertemanan FB usai lihat postingan saya bela Ahok dari gerombolan 212, atau tulisan saya mendukung Jokowi dalam 2 pemilu ditambah mungkin saya tambah garang lawan kelompok khilafah yang ndompleng di pemilu kemarin.

“Suka postinganmu, Jokowi emang plonga-plongo kan?”
“Kagak bisa kerja si kodok itu. Puji Tuhan kamu sadar juga, Rif.”
Bla…bla..bla..ujungnya bilang Presiden harus mundur. Segitunya ya.

Mungkin saya membuat mereka lantas kecewa dan mungkin berpikir ulang berteman lagi setelah mendengar jawaban saya. Bahwa tidak ada konteksnya sama sekali dengan menarik dukungan dari Pak Jokowi, apalagi saat ini beliau adalah Presiden Republik Indonesia yang sah secara konstitusi. Sejak awal saya hanya mengkritik pilihan beliau terhadap beberapa sosok menterinya di periode keduanya, tapi ya sebatas itu karena pada diri manusia pilihan Tuhan bernama Presiden-lah tersemat hak konstitusi bernama prerogatif. Dan urusan kinerja, saya masih menganggap beliau lumayan bisa mengendalikan ekonomi di situasi global sesulit ini.

Sama halnya dengan Pak Anies. Selain menaruh hormat bahwa beliau ada Gubernur DKI Jakarta yang terpilih secara sah lewat demokrasi, hari ini saya terus terang padanya menaruh respek pada kebijakan taktis beliau terkait antisipasi Corona. Kita tidak boleh memandang sebelah mata dampak pandemik ini, dan sosok Anies termasuk yang menyadarkan saya. Sebagai warga kelurahan Cipedak, beliau adalah gubernur saya sampai pemilu mendatang.

Jadi sama sekali tidak ada kaitan dengan politik. Pemilu sudah usai, kerja politik biarlah lewat saluran legislatif. Harus move-on. Satu sisi saya memahami kehati-hatian Pak Jokowi bahkan kenekadan dia melawan best practice “lockdown” negara lain. Pertama, secara geografis kita bukan negara mainland yang mudah dikontrol pintu masuknya. Kedua, struktur ekonomi kita beda dengan Tiongkok atau eropa.

Saya yakin beliau sedang berhitung keras bencana susulan Corona jika bangsa ini gagal melewati periode ramadan utamanya menjaga harga bahan pokok, dan lebih celaka bertambahnya pengangguran akibat lockdown. Faktor-faktor tersebut sangat mungkin memicu ‘social unrest’ yang mungkin akan berubah menjadi kerusuhan horizontal. Tapi sikap pengabaian dampak Corona dan ketidakterbukaan sungguh tidak bisa saya tolerir. Pengin saya ‘ngegaruk’ muka menterinya urusan ini saking sebelnya.

Corona nyaris mengubah cara interaksi manusia di muka bumi ini. Berkurang jabat tangan dan cipika-cipiki, namun bertambah kecurigaan pada orang yang batuk-pilek atau sekedar bersin seakan mereka pembawa malapetaka. Silahturrahim menjadi tidak hangat lagi.

Tak terkecuali aktivitas kaderisasi Nahdlatul Ulama yang dihentikan sementara waktu. Kultur kader NU atau kegiatan NU umumnya, santri masih memaksa cium tangan para kiainya bolak-balik.”Lebih kuatir tidak mendapat barokah kiai dibanding kena Corona.” Pendapat ini dipastikan akan dapat teguran sang kiai untuk tidak mengabaikan wabah ini. Tujuan pokok beragama (Al Dhururiyat Al Khams) adalah Al Muhafadhah ‘ala al-nafs atau memelihara jiwa/nyawa manusia.

Aktivitas belajar mengajar pun berubah dari kegiatan tatap muka menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diterapkan salah satunya di Universitas Indonesia tempat saya mengajar. Saya termasuk yang ragu dengan efektifitas PJJ, tapi kami tidak memiliki opsi lain kecuali melakukannya untuk kebaikan siswa didik. Tapi saya yakin bersama semua civitas academica, kita akan menemukan solusi terbaik secepatnya.

Wajar kita semua cemas. Karena Covid-19, nama lain Corona ini, memiliki kemampuan evolusi pendahulunya MERS dan SARS dalam penyebarannya. Droplet (bersin, liur, ludah) menjadi medium penyebaran Corona mencari inang baru dalam paru-paru manusia dengan cepat.

Akan menjadi kemenangan virus ini, jika ia berhasil membuat manusia yang harus saling memisahkan diri (social distancing) tapi juga terpisah jiwanya dari rasa empati terhadap sesama. Mengalahkan virus ini membutuhkan kepemimpinan dari kita semua. Gotong royong membangun solidaritas bersama.

Saat ini, kita semua menanti langkah taktis pemerintah terutama Satgas Corona di bawah kendali Jenderal Doni Monardo dalam menyiapkan infrastruktur (kapasitas rumah sakit dan peralatan) dan SDM menghadapi ledakan eksponensial penderita Covid-19, karena korban akan semakin besar jika tak tertangani meski secara matematis tingkat kematian penderita berkaca dari negara lain sangat rendah dibanding kasus pandemik lain yang pernah dihadapi peradaban manusia.

Sebagai seorang ayah, saya memanfaatkan momentum Corona ini untuk mengubah kebiasaan buruk Aga seperti mengupil dan memasukan jari ke mulut (kebiasaan saya juga sih waktu kecil hehehe). Saya katakan pada dia dengan heroik, “Saat ini masa depan dunia di tangan kita. Mulai disiplin cuci tangan, mandi setelah aktivitas luar rumah, menjauhi teman yang batuk pilek untuk sementara dan jangan ngupil/ngempeng jari sembarangan.”

Tidak ada penyakit tanpa penawarnya. Dan mungkin kali ini penawarnya pada diri kita sendiri. Bukan saja memulai pola hidup sehat tapi juga meningkatkan cara pikir waras. Kembalinya rasa kemanusiaan kita.

Author: Arief Adi Wibowo

Experience Business Executive, Lecturer at Universitas Indonesia (Communication Science/Media Management), Wakil Sekretaris Umum Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama/Ketua IKA Unair/Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s