MENTERI MUDA KABINET JOKOWI

Tulisan segar dari pemikir muda ISNU, Ali Rif’an. Beberapa hal saya sepakat dengan Gus Rif’an namun hal lain berbeda pandangan. Saya termasuk pihak yang mengkritisi wacana Pak Jokowi tentang menteri usia 20 tahun.

Posisi menteri dihadapkan dengan 3 tantangan sekaligus dengan semua dimensi kesulitannya. Pertama, tentu saja adalah target dari sang pemberi mandat yaitu Presiden. Kita semua mungkin melihat linimasa media selama 5 tahun terakhir berisi kerja sang Presiden yang bisa disebut “ora nduwe udel” alias tidak kenal lelah. Nawacita adalah visi dan misi nan ambisius dari sosok Jokowi.

Sebut saja proyek eletrifikasi 30 ribu MW. BBM satu harga. 1 juta lahan pertanian baru termasuk ratusan irigasi dan bendungan baru maupun revitalisasi. Pelabuhan, bandara, pasar rakyat hingga sekolah. Belum lagi perkartuan untuk mengeliminir bantuan tunai yang sarat pungutan seperti kartu pintar, sehat dan terakhir kartu tani.

Lho pas dong kalau gitu dengan menteri 20 tahun yang pasti penuh energi? Nanti dulu. Karena semua ‘partitur’ pembangunan dari Presiden yang sudah dibuat ini, pasti berbenturan dengan banyak hal sebut saja ruang fiskal, hambatan budaya dan kepentingan politik.

Tantangan kedua bernama birokrasi. Lapis birokrasi yang akan mengelilingi sang menteri adalah orang-orang berpengalaman, memiliki kemampuan menggerakkan akar rumput operasional dan juga sarat ‘kepentingan’. Bukan saja sang menteri harus mampu menggerakkan birokrasi untuk mencapai target sang Presiden, tapi mampu membaca jebakan birokrasi yang bisa jadi sengaja atau tidak bisa membawa ke KPK, Kejaksaan atau Kepolisian.

Berikutnya tantangan yang tidak kalah sangar adalah menjinakkan parlemen. Senayan dihuni para kampiun demokrasi dari daerah pemilihan masing-masing. Tokoh politik yang terbukti mampu menundukkan kawan dan lawan serta memenangkan hati rakyat. Mereka adalah sosok-sosok yang punya kapasitas intelektual, pengaruh hingga berbagai kepentingan (entah partai maupun terkait bisnis).

Kita mungkin masih ingat sosok menteri veteran seperti Rini Soemarno yang ditolak DPR sehingga setiap rapat harus diwakilkan koleganya. Atau sengitnya perdebatan mulai dari penganggaran hingga terkait fungsi pengawasan dewan.

Lalu bagaimana dengan contoh-contoh di belahan dunia lain seperti Syed Saddiq dari negeri jiran, atau Justin Trundeu dari Kanada?

Menurut saya, kita tidak bisa melihat hanya dari variabel angka umur mereka. Tapi juga dimensi sistem sosial, ekonomi, politik bahkan kultural. Agaknya Indonesia tidak sesederhana itu. Kesamaan tokoh-tokoh tersebut adalah mereka matang dari proses politik yang tidak instan, selain urusan garis tangan.

Setidaknya sentilan Pak Jokowi soal menteri umur 20 tahun memicu partai politik lebih memperbaiki sistem dan mekanisme kaderisasi untuk menghasilkan tokoh-tokoh muda yang tidak saja secara usia namun pemikiran dan kematangan karakter. Atau bisa jadi memang akan muncul tokoh muda dalam kabinet Jokowi mengingat beliau yang penuh kejutan seperti memajang 8 menteri perempuan di kabinet periode pertamanya.

Dan kita boleh berharap optimis melihat lahirnya tokoh-tokoh muda yang sudah memegang tampuk kekuasaan di usia muda dalam beberapa tahun terakhir seperti Ridwan Kamil, Emil Dardak, atau Bupati Badrut Tamam dan lainnya. Meskipun waktu juga yang akan menguji mereka apakah mereka sanggup membuat perbedaan dan menjalani periode kekuasaan dengan selamat sentosa.

Author: Arief Adi Wibowo

Experience Business Executive, Lecturer at Universitas Indonesia (Communication Science/Media Management), Wakil Sekretaris Umum Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama/Ketua IKA Unair/Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s