https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/pr7th6368
Membaca berita ini, saya teringat di beberapa tahun silam, saat menemani guru dan senior kami, Pak Ishadi dan Pak Latief Harnoko, menyambut rombongan menteri senior Mr.Chee dari Singapura. Mereka belajar dari pengalaman kita sebagai bangsa saat menghadapi proses pemilu 2014, saat hoaks menjadi sebuah operasi politik yang sangat masif dibanding era sebelumnya karena perkembangan teknologi informasi dan media baru.
Bagaimana kebohongan di-engineering dengan sederet algoritma yang ‘tidak memiliki hati’, seakan menemukan ‘pasangan’ yang sempurna dengan politisi yang tak lagi menggunakan hatinya dan menganggap politik adalah permainan kekuasaannya semata. Adu kiri, adu kanan, sedang dia sendiri kemudian balik badan 😪
Mereka juga belajar bagaimana sebuah konglomerasi media seperti Transmedia membangun sistem pertahanan atas hoaks, berupa standard & practices dan kompetensi awak medianya. Karena mereka pun mempelajari ada beberapa media mainstream yang justru menjadi ‘pabrik kebohongan’, seperti polling palsu dan lainnya.
Senior Minister Mr.Chee terlihat sangat aktif bertanya. Politisi muda paling cemerlang Singapura saat itu memiliki pandangan bahwa hoaks ini lebih berbahaya di era post truth, dan memiliki semua piranti infrastruktur penyebaran yang luar biasa saat ini. Hoaks bisa memicu rusaknya tatanan kenegaraan dan menciptakan ‘chaos’ yang memiliki ongkos sosial politik yang tidak bisa dibayangkan, bahkan sangat mungkin tertumpahnya darah akibat perpecahan antar etnis.
Selang sekian tahun, rupanya Singapura berbenah. Undang-undang lebih spesifik melawan praktek hoaks. Sudah tentu reaksinya luar biasa, meski sudah bisa ditebak banyak pengamat dan aktivis HAM melawannya. Apalagi posisi saat ini, Singapura dianggap memiliki peringkat kebebasan media kategori buruk di dunia (jauh dibanding media kita yang lebih bebas).
Tapi sepertinya Pemerintah Singapura tidak bergeming digoyang suara miring itu. Saya pribadi bisa memahami langkah ini karena tugas setiap pemerintahan menjaga persatuan rakyatnya, dan tugas yang lain menjaga pemerintahan transparan dan akuntabel. Kadang ada baiknya tidak terlalu mendengar kaum nihilis yang mengusung HAM, dan hanya ribut di medsos saat konflik pecah sembari memajang status khasnya : “PRAY FOR….”
Tulisan ini masih aktual banget, setelah berlalunya pemilu 2014.
LikeLiked by 1 person