GEBYAR-GEBYAR BISNIS LAYAR KACA

WAWANCARA DENGAN SWA MARET 2017 :

GEBYAR-GEBYAR BISNIS LAYAR KACA

(Baca selengkapnya SWA Edisi 7 ini. Ada banyak perspektif dari para CEO papan atas di industri televise soal maneuver perusahaan mereka untuk mengantisipasi perubahan dan tantangan)

Bagaimana sebenarnya arah industri televisi kita? Kian cerah, atau mendung? Mengapa?

Bicara soal arah industri televisi, kalau menurut kami, bicara soal bagaimana besaran ADEX dan distribusinya, dan bicara soal pergeseran pola konsumsi audience serta tidak lepas dari trend teknologi itu sendiri.Membaca ADEX tidak pernah bisa dilepaskan dari membaca secara umum kondisi perekonomian makro nasional dan global. Pertumbuhan ekonomi memang menunjukkan tanda-tanda perlambatan sejak 2012. Situasi mulai memburuk dari hancurnya harga komoditas dan melambatnya mesin pertumbuhan ekonomi dunia utamanya Cina. Imbasnya secara nasional, pertumbuhan melemah bahkan menyentuh level 4.8% di 2015.Hitungan sederhananya, jika pertumbuhan melemah maka daya beli rumah tangga secara umum akan turun. Snowball effectnya, sales dari advertiser akan terkena dampaknya. Hal yang menyebabkan terjadi penyesuaian terhadap nilai belanja iklan yang otomatis akan turun. Ujung dari semua ini adalah anjloknya pendapatan industri media. Tanda-tanda inilah yang membuat di periode 2015-2016 para pelaku bisnis media melakukan perombakan struktur biaya, mengencangkan ikat pinggang.  Dari kondisi badai yang suram, mungkin sekarang beralih ke berawan tapi relative mendung.

Mengapa mendung? Karena tingkat ketidakpastian masih terlalu tinggi. Kita masih menunggu kapan mesin-mesin pertumbuhan utama dunia seperti Cina,AS, Jepang dan Eropa akan membaik sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi secara global. Kita masih belum bisa memastikan kapan daya beli nasional akan kembali pulih.

Jika melihat data pertumbuhan Adex, memang terlihat terjadi peningkatan 14% dibandingkan 2015, dan televisi masih berkontribusi lebih dari 75% seperti data Nielsen di bawah ini. Tapi selalu ada disclaimer dari data Adex ini, yaitu data ini hanya bicara soal angka kotor dari adspend, dan tidak menghitung faktor-faktor seperti discount, bonus dan lainnya. Kalau menurut hitungan kami secara real, 2016 sedikit tumbuh namun tidak jauh dari 2015. Artinya masa sulit 2014-2015 bolehlah secara optimis kita sebut berangsur mulai membaik.

Apakah kenaikan iklan adalah pertanda industri televisi kita kian cerah? 

Sebagai pelaku bisnis televisi, tanda apapun yang kita baca dari siklus bisnis harus disikapi dengan optimistik. Kenaikan iklan hanya satu indikator. Indikator yang perlu selalu dijaga adalah kemampuan menjaga operating cost pada level aman, tanpa mematikan revenue stream.

Menurut Bapak/Ibu bagaimana peta persaingan televisi kita?

Industri televisi sedang pada persimpangan jalannya. Pada cross-section antara padatnya kompetisi (cluttering media), pola konsumsi media yang berubah di sisi audience, dan arah perkembangan teknologi itu sendiri. Segmen baby boomer segera memasuki fase tidak produktif dan tidak menarik secara komersial bagi advertiser. Segmen ini masih mengonsumsi produk audio visual televisi dalam platform free to air (FTA). Gen X, Y dan Millenial akan menjadi penentu bagi daya tarik komersial. Celakanya, makin ke arah Millenial, platform televisi makin kurang menarik meski mereka adalah generasi yang sangat visual, dan tipikal content seeker yang tidak mau lagi konsumsinya dikendalikan satu arah sebagaimana praktek tv broadcasting selama ini. Perubahan pola konsumsi audience inilah yang membuat paradigm rating/share FTA untuk single audience yang kita kenal tidak cukup, total audience yang melibatkan konsumsi konten di semua platform.Infografis dari studi terbaru Nielsen di atas, bisa menjadi ilustrasi yang baik tentang gap antar generasi audience seperti yang telah dijelaskan. Semakin muda segmennya, semakin mereka bergantung pada mobile gadgetnya dan gemar interaksi online, tidak seperti silent generation dan baby boomers yang sering bermasalah dengan ukuran layar gadget JTeknologi menawarkan tumbuhnya beragam platform dan kemudahan aksesnya. Kompetisi televisi masa depan bicara soal strategi branding baik itu channel branding maupun program branding karena market sudah penuh sesak, strategi produksi membuat konten yang unik dan menarik, strategi programming untuk delivery konten tersebut pada channel/platform yang tepat dan kemampuan menghitung siklus program dengan akurat, serta strategi komersial untuk monetizingnya.

Makin menarik dengan kompleksitas yang makin tinggi.

Bagaimana sih pola pertempuran televisi kita? Apakah mereka cukup kreatif? Apa indikasinya? Atau mereka terlihat sering kehabisan akal sehingga hanya melahirkan program-program yang itu-itu saja?

Dari perspektif broadcaster, Over Expose atau Stripping Program itu strategi yang lumrah dalam programming televisi. Artinya saat ada satu program sukses, maka akan diekspos besar-besaran, baik oleh stasiun itu sendiri atau diikuti oleh kompetitor. Karena bisnis televisi itu sangat mahal dan resiko tinggi, maka membuat kecenderungan tinggi untuk melakukan ATM (amati-tiru-modifikasi). Ilustrasinya, satu program baru genre reality show, atau music live untuk durasi 1-2 jam, biaya produksinya saja bisa mencapai 300 – 400 juta per episode. Belum faktor biaya lain, seperti transmisi dan lain-lain. Membuat nilai impas secara komersial sangat mahal. Siapa berani coba-coba dengan situasi tersebut? JDi sisi audience seperti sudah dibahas di atas, sudah bergeser habit konsumsi dari segmen audiencenya terhadap konten televisi di platform FTA, atau di televisi-televisi yang ada di ruang keluarga. Alias audience dengan tingkat konsumsi tinggi terhadap konten Cuma itu-itu saja, dan seleranya pun demikian. Kita bisa lihat dari data Nielsen di bawah soal kepemirsaan televisi, meski diklaim konsumsi tv naik jadi 12,2% dari 11,8% rating point, tetap saja contributor terbesar masih ibu rumah tangga.

Mengapa RCTI selalu berjaya? Apakah mereka akan terus berjaya? Apa formulanya? 

Sebenarnya ada banyak aspek yang menentukan kesuksesan sebuah stasiun. Tidak melulu konten, termasuk aspek teknis jangkauan (coverage) transmisi dari stasiun itu sendiri. Tapi kalau disederhanakan, ada 3 hal. Pertama, soal preferensi pemirsa yang dibangun oleh branding dan positioning yang kuat secara konsisten sejak lama karena RCTI adalah market pioneer dalam industri televisi FTA. Kedua, ketepatan strategi programming dan produksi mereka menciptakan dan masuk dalam konten drama (sinetron), di mana secara umum selera orang asia adalah drama. Baik di korea, india, Malaysia, dan Indonesia, drama adalah genre yang sangat disukai audience. Ketiga, kelihaian dalam melakukan akuisisi program luar baik dari lokal production house maupun asing.

Bagaimana dengan fenomena ANTV? Apakah mereka akan bisa melanjutkan performanya? Bukankah formula mengambil sinetron luar gampang ditiru stasiun lain?

Fenomena ANTV ini kejelian strategi programming dalam mengakuisisi program asing. Memang ada beberapa kritik terhadap fenomena akuisisi program asing dari beberapa kalangan, terutama dampaknya yang akan mematikan industri kreatif lokal. Karena dengan mengakuisisi program asing maka pada dasarnya kita membayari manhour di industri kreatif orang lain. Tapi menurut saya, ini ranah regulator ya. Karena pelaku industri pastilah berorientasi pada profit, dengan biaya akuisisi yang relative murah, dan sudah terbukti dimakan pasar, maka secara bisnis akan terjadi kapitalisasinya. Bicara soal sustainabilitas, semua bergantung pada siklus memirsa, mengingat audience kita yang pembosan. Akuisisi program sebenarnya dilakukan oleh hampir semua stasiun, dan potensi ditiru memang lumrah dalam industri. Ini yang menyebabkan terjadi perubahan besar dalam RCTI dengan memproduksi sendiri program sinetron andalannya lewat MNC Picture, sehingga mereka memiliki keleluasaan mengubah konten dengan memperhatikan dinamika pasar.

Menurut Bapak/Ibu, apakah RCTI akan tetap jadi pemenang di 2017? Mengapa? Bagaimana dengan televisi lain? Siapa yang akan masuk 5 besar peraih iklan? Mengapa demikian? Apa syarat untuk bisa masuk 5 besar?

Menurut saya, genre drama masih akan favorit. RCTI masih susah digoyang. Demikian pula dengan SCTV. ANTV masih akan bermain dengan sinetron asing. Terbaru adalah maneuver Trans TV dengan mengusung dua genre utama dalam pola programmingnya yaitu drama dan film, sehingga akan secara head-to-head bertarung di market program drama.Susunan peraup iklan terbesar juga akan berkisar pada MNC Group, EMTEK, dan Transmedia. Indikatornya tentu saja penguasaan total rating point ketiga group ini jauh di atas grup media lain. Belum lagi keleluasaan untuk melakukan cross platform advertising, karena ketiganya memiliki asset media yang beragam, mulai dari stasiun FTA, paytv sampai on-line.

Bagaimana caranya agar televisi kita menghasilkan program yang memutar roda ekonomi tapi juga cerdas dalam melahirkan program?Kuncinya adalah kejelian memahami audience lewat riset dan pengembangan, bagaimana produksi program mengeksekusi kebutuhan dan keinginan audience tersebut, dan ketepatan strategi programming dalam meluncurkan program tersebut pada slot waktu yang tepat.

Apakah talenta televisi kita yang kreatif tak begitu banyak? Bagaimana solusinya?  

Sebenarnya talenta televise kita demikian kreatif karena dibentuk oleh kompetisi yang ketat. Hanya saja memang environment kreatifnya yang belum dibangun maksimal. Seperti bagaimana korea selatan begitu identik denga K Pop Culturenya. Atau Malaysia sudah bisa bicara dalam level distribusi dunia via program anak. Bicara soal environment kreatif, tentu tidak bisa dibiarkan pelaku industri bermain sendiri-sendiri. Tapi regulator, dalam hal ini mungkin Bekraf ambil posisi strategisnya. Tidak Cuma bicara konsep dan roadmap di atas kertas, tapi bagaimana implementasinya. Jika tidak industri kreatif kita akan hanya menjadi pasar, jadi tukang jahit saja.

Saya pikir kalau talenta kreatif di industri televisi kita masih cukup berlimpah. Dilihat dari prestasi, misalnya, dalam kompetisi-kompetisi selevel asia seperti Promax BDA, kita masih bersaing. CNN Indonesia masuk dalam finalis kategori promo image. Serta NET sebagai pemenang dalam kategori best viral promo program.

Apa komentar Bapak/Ibu tentang youtuber revolution? Apakah televisi kita sudah cukup antisipatif?

Youtuber revolution itu bagian dari rising of new media. Platform ini diminati oleh segmen muda yang melek teknologi dan interaktif. Saya lihat hampir semua grup media kita sudah bergerak kesana. Cuma memang model business-nya masih belum ada yang established. Stasiun televisi atau grup media sebagai produsen perlu mencari revenue stream terbaik, agar konten yang diproduksinya bisa demonetize secara maksimal, tidak hanya dinikmati oleh platform provider seperti youtube saja. Secara angka memang penetrasi media baru meningkat pesat dalam 5 tahun terakhir, namun level ADEX-nya belum mengikuti. Mungkin ini yang membuat meski sudah bergerak kesana tapi secara overall kontribusi revenue terbesar masih dari televisi.

Apakah Anda mencermati televisi lokal? Apakah mereka prospektif?   

Mungkin momentum kick-off digital free-to-air bisa dimanfaatkan kembali membuat televisi lokal menjadi feasible secara bisnis. Mengubah mindset advertiser dan agensi mengenai placement iklan juga tidak mudah. Selain secara skala ekonomi, beriklan di televisi nasional dengan coverage nasional, akan jauh lebih efisien.

Bisnis televisi adalah bisnis mahal. Siklus investasi sangat pendek, karena teknologi cepat usang dan berganti. Resiko program gagal moncer secara komersial juga besar. Belum lagi kalau dilihat dalam konteks pasar sumber daya manusianya. Pekerja televisi atau broadcaster yang handal itu tidak tersedia dengan merata di daerah. Televisi lokal ini sebenarnya adalah produk dari amanat konstitusi untuk distribusi kepemilikan dan distribusi keekonomian lebih merata ke seluruh nusantara. Gagasan dan idealismenya sangat baik. Tapi perlu dipikirkan bagaimana tahapan-tahapan dalam implementasinya. Untuk saat ini, keterwakilan lokal baru secara konten di stasiun-stasiun televisi nasional.

Author: Arief Adi Wibowo

Experience Business Executive, Lecturer at Universitas Indonesia (Communication Science/Media Management), Wakil Sekretaris Umum Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama/Ketua IKA Unair/Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s