Mulai dari awal karir broadcast sampai akhir 2011, saya mengamati perubahan trend media televisi. Di periode 2005, tanda-tanda penurunan total rating poin mulai terjadi bahkan di zona utama primetime sekalipun. Nielsen Indonesia baru mulai mempublikasikan di periode 2010-an namun dengan embel-embel konsumsi tv per jam malah naik.
2012, Berbekal proyeksi kepemirsaan dan pengalaman di dua lingkungan programming (baik TV general entertainment Transmedia maupun TV berita TVone), ramalan di depan BOD Metro TV bahwa titik terendah deklinasi media konsumsi TV Berita akan terjadi di periode 2015.
Proposal untuk Metro TV sekaligus hipotesis dalam menghadapi perubahan lanskap itu bernama “Content & Knowledge Management”. Fenomena perubahan industri ini menuntut 3 hal. Pertama, perubahan kultur. Kedua, perubahan model bisnis. Ketiga, perubahan pengukuran. Kita mulai satu per satu.
Perubahan Kultur
Terinspirasi oleh Henry Jenkins dalam bukunya, Convergence Culture (2006). Antisipasi paling awal dari perubahan ini terletak pada kultur. Benturan konvergensi mengakibatkan “blur”-nya medium. Implikasi paling nyata adalah tuntutan akan mindset dan skillset para pekerjanya.
Tidak ada lagi dominasi audio visual terhadap text atau audio. Karena sentralitas bukan lagi media namun how to create and targetting audience itu sendiri. Multiskill menjadi tuntutan industri selain pemahaman tentang audience yang makin kompleks terutama interaksinya terhadap platform.
Untuk mempersiapkan kultur baru yang tepat dalam organisasi, knowledge management menjadi tools organisasi yang tepat dalam mempersiapkan pekerja pengetahuan yang cakap mindset dan skillsetnya.
Sebagai media berita, data journalism menjadi disiplin yang harus disisipkan dalam pembangunan kultur baru. Bagaimana data dan informasi dikumpulkan-difilter-diekstrak-divisualisasikan adalah skillset kritikal baru bagi pekerja.
Bagi organisasi, antisipasi perubahan kultur ini dapat dilakukan dengan melakukan akuisisi portofolio untuk mendukung data journalism. Dalam konteks Metro TV, akuisisi portofolio teknologi data journalism menjadi kritikal. Dan manajemen menyikapi dengan membangun strategic partnership dengan sebuah technology developer dari Bandung yang memiliki spesialisasi dalam intelligence media monitoring.
Organisasi yang sesuai dengan tantangan perubahan kultur harus memuat ruh dan mindset, skillset hingga toolset yang tepat. Proposal dari organisasi tersebut seperti terlihat dalam bagan di bawah.
Perubahan Model Bisnis
Model M-C-M dalam konsepsi kritis Marx tetap berlaku di mana M (money) adalah modal kapital yang diperlukan untuk dikonversi menjadi C (commodity). Untuk kemudian menjadi M (money) kembali menjadi profit dari proses kapitalisme media.
Perbedaannya adalah pada bergesernya modal kapital yang bersifat full ownership ke sharing/kolaborasi ekonomi. Dalam kasus Metro TV, kolaborasi dengan intelligence media developer menjadi milestone penting di kemudian hari.
Perencanaan redaksi menjadi lebih prediktif dalam membaca pola pemberitaan. Mapping sebuah isu menjadi lebih sciencetific, demikian presisi memetakan interaksi antar newsmaker, agenda setting antar newsroom dan reaksi publik terhadap framing media.
Commodity pun menjadi berubah. Konten harus mampu tampil dalam ragam bentuk. Mantra yang berlaku adalah brand value creator, formulasi dari kemampuan mengelola berita di medium TV, medium digital, medium media sosial dan medium komunitas. Sehingga komersialisasi dari commodity tersebut berkembang dari reach (yang selalu tidak menguntungkan media berita berdasar angka Nielsen) tetapi juga dampak berita itu sendiri.
Sebuah pilot project dilakukan bernama Mata Najwa. Muncul kesangsian terhadap pilihan program ini dari beberapa pihak, utamanya karena indikator kepemirsaannya waktu itu yang naik turun dan cenderung rendah. Namun selain sebuah project, tidak ada pilihan untuk membangun program bintang baru untuk memperkuat revenue stream dari program-program yang secara tradisi menjadi kontributor profit utama seperti Kick Andy atau Mario Teguh.
Strategi komprehensif untuk mengemas Mata Najwa dipersiapkan bersama produser dan awak media yang kreatif dan berdedikasi. Roadmap Mata Najwa lengkap selain secara TV programming, digital programming, social media programming hingga strategi penciptaan community via aktivitas kreatif off air.
Digital dan social media programming dilakukan lewat kolaborasi apik antara awak program, awak portal dan awak tim media sosial. Kolaborasi adalah kata kuncinya. Social media programming di mulai dari perubahan strategi konten dari micro blogging ke engagement selain tentunya tim media sosial yang passionate di bidangnya. Hasilnya luar biasa, hanya dalam tempo kurang dari 6 bulan angka follower akun media sosial Mata Najwa melejit tembus 1,4 juta dari 400 ribuan di 2013.
Strategi pembentukan community ini yang diawali dengan creative offair activation salah satu mata rantai yang beresiko tinggi dan kurang diminati Board of Director karena dianggap cost center. Tapi lewat strategi yang detil, BOD mendapat visualisasi return dari investasi pada aktivitas ini.
Selain pembentukan komunitas ini bertujuan menciptakan revenue stream baru, ada tujuan strategik lain yang tidak kalah pentingnya yaitu penciptaan kesadaran baru bagi pengiklan. Apa maksudnya?
Sebagai program dari TV Berita yang memiliki indikator kepemirsaan Nielsen yang tidak menguntungkan, dengan angka TV Rating/TV Share relatif kecil ditambah secara profil audience program berita berusia 50+. Profil ini sangat tidak seksi bagi pengiklan. Dalam creative off-air activity inilah pengiklan dibuat terbuka kesadarannya. Betapa ada ketidaksesuaian antara profil capturing metode statistik dengan peoplemeter kontra realitanya. Setiap event dijejali belasan bahkan puluhan ribu anak muda dengan interval usia 15 sampai 22 tahun. Ya, Program TV Berita pun memiliki dimensi hiburan yang mampu mencipta khalayak dari usia muda. Puncak fenomena ini bahkan kemudian menyamai sebuah konser hiburan itu sendiri, baca : http://muri.org/acara-talk-show-tv-dengan-penonton-terbanyak/?openmodal=true
Perubahan Pengukuran
Bagi tim komersial TV Berita, dari waktu ke waktu kesulitan utama adalah menghadapi “currency” Nielsen yang tidak menguntungkan. Pengukuran lain untuk memperlihatkan dimensi pemberitaan adalah kebutuhan mutlak.
Strategic partnership dengan technology provider yang memiliki spesialisasi dalam intelligence media monitoring adalah kunci dalam menghadirkan sisi seksi program berita. Tahap development menjadi sebuah mesin analitic berbasis big data menjadi milestone sangat penting.
Nilai seksi dari berita adalah resonance effect and reaction dari audience.
Resonance effect adalah kemampuan dari berita untuk bergerak lintas medium sehingga menciptakan multiple audience (yang menghasilkan total reach yang dahsyat) dalam linimasa pergerakan sebuah konten. Virality konten Mata Najwa episode Habibie atau Kick Andy Heroes yang skalanya mendunia adalah contoh nyata. Dan semuanya memiliki “angka” yang bisa diyakini baik oleh pengiklan untuk komersial maupun pemangku program dan programming tv untuk pengembangan konten.
Reaction adalah faktor paling penting bagi produk berita di mata pengiklan, menurut hemat saya. Mengapa demikian? Awareness bukan lagi hal terpenting di market yang sesak seperti sekarang. Tapi bagaimana merek diasosiasikan dengan hal positif di benak konsumen, adalah faktor pembeda penting. Apalah arti saat merek berada dalam “kendaraan” program yang memiliki rating point tinggi, namun reaksi pemirsa terhadapnya cenderung negatif? Ya, sentiment analysis yang merupakan salah satu indikator dalam big data menjadi penting.
Tentu saja model untuk mempersiapkan masa depan sebuah media berita di atas bukan seperti mantra sakti. Karena sangat kontekstual. Sehingga dibutuhkan kehati-hatian dan kejujuran dalam memotret dan menciptakan strategi transformasi yang tepat.
(Tulisan ini ada karena para influencer : Andre Burhanudin, wadirut yang selalu meragukan konsepsi kami namun paling depan bentuk support dalam eksekusinya. Putra Nababan dan Najwa Shihab, dua anak muda dengan kepemimpinan yang menakjubkan. Kiki Taher, creative genius, yang membuat keajaiban kreatif dari sisi branding dan penciptaan community. Amu, Keket, Jati, Dahlia Citra dan banyak nama pekerja pengetahuan sejati, make it happen team. Mangoloi dan deretan periset mudanya d CKM. Serta Nihaq-Esthy-Rengga trisula tim media sosial yang passionate)
One thought on “Mempersiapkan Masa Depan Media Berita (Studi Kasus Metro TV)”