Belajar dari Harry Potter

Saya bukan penggemar berat novel Harry Potter ini, namun ada sesuatu kisah penting di balik kesuksesan buku ini. Kisah ini bukan mengulas sosok JK. Rowling, meskipun biografinya sangat menarik, menyuguhkan cerita tentang kegigihan anak manusia. Kisah yang ingin saya angkat justru lebih pada hubungan Rowling dengan agennya Christopher, hubungan Rowling dan Scolastic-Penerbitnya di USA. Penting untuk diperhatikan setiap profesional terutama untuk meminimalisir apa yang sering disebut sebagai resiko manajerial, resiko pengambilan keputusan. Cara Christopher dan Scholastic mencium potensi pasar sangat menarik untuk dibahas.

Alkisah, usai menyelesaikan buku Harry Potter yang pertama, Rowling mencari agen yang bertugas untuk mencari penerbit. Muncullah nama Christopher. Intuisi bisnis sang Agen langsung jalan. Baginya, buku ini terlalu berharga untuk tidak diterbitkan. Ide kreatifnya sangat orisinil, meski melawan mainstream pasar buku anak saat itu. Dugaan Christopher benar, sangat sulit memasarkan buku yang akhirnya tercatat sebagai buku anak paling berpengaruh abad ini. Perlu waktu setahun untuk mendapatkan sebuah penerbit, dan itupun hanya sekelas Bloomsburry.

Hal yang menarik untuk dikaji adalah mengapa butuh waktu selama itu. Apakah penerbit-penerbit besar tidak punya lagi cukup keahlian untuk mengendus ide besar? Menurut saya, ini adalah fenomena yang sering disebut sebagai data trap. Ya, data dan analisa yang membungkusnya ternyata menghadirkan jebakan yang sangat berbahaya. Itulah yang terjadi di saat penerbit-penerbit besar menganggap mainstream pasar buku anak tidak sesuai dengan ide kreatif seperti Harry Potter. Argumentasinya pun disodorkan, mulai dari jumlah halaman untuk buku anak sukses tidak pernah lebih dari 60.000 kata, sedangkan Rowling bahkan menyebut Potter akan dibuat hingga 7 buku. Ketika disebutkan bahwa pasar buku anak lebih memakan cerita yang lebih serius dan rasional, sedangkan Potter menghadirkan irrasionalitas dengan dunia penyihirnya.

Demikian pula dengan keputusan bisnis yang diambil oleh Scholastic. Dalam lelang hak terbit untuk di USA, Scholastic membayar Rowling dalam poundsterling sebesar 6 digit. Angka yang luar biasa besar untuk pasar buku anak. Dianggap gila saat itu, karena dalam kalkulasi bisnis tidak akan untung dengan angka sebesar itu. Dan ternyata, seperti yang kita ketahui bersama, fakta kemudian menunjukkan sebaliknya. Harry Potter booming, bahkan sangat mempengaruhi peta bisnis penerbitan. Harga indeks saham di Wallstreet untuk bisnis ini pun sangat bergantung dengan peluncuran buku terbaru dari serial Potter. Bisa dipastikan, penerbit-penerbit dengan segudang argumentasinya itu gigit jari saat ini!!!

Dalam praktik bisnis, kecenderungan untuk menuju arah pendekatan sains memang diperlukan. Dukungan data akurat tentang kondisi pasar akan memastikan kita terus dapat mengantisipasi persaingan. Tuntutan logis dari tingkat ketidakpastian dan kompleksitas yang semakin tinggi. Namun, pendekatan sains terkadang justru menjebak kita dalam simplifikasi. Ketika pasar sedang menggandrungi buku anak yang rasional, maka khayalan tentang penyihir itu enggak laku. Bahwa agar buku anak itu laku maka dia harus minimal dibawah 60.000 kata alias tidak berbelit-belit. Membuat situasi terjebak dalam “dunia sempit” dari worksheet penuh angka yang kita buat sendiri.

Ada satu esensi yang justru tercerabut dari “keyakinan” buta kita terhadap data. Bahwa pasar itu dinamis, di sisi lain, data kuantitatif kita (se-real time apapun) selalu menampilkan sisi historis. Itu sebabnya, untuk memenangkan persaingan saat ini, tidak cukup untuk mengandalkan kekuatan pengetahuan (informasi dan pola dari kumpulan data) belaka. Dalam tahapan knowledge management, saatnya bergeser ke arah wisdom (kebijaksanaan) dengan memahami prinsip-prinsip dasar yang sedang berpengaruh dalam pasar.

Dalam mencapai wisdom itu perlu latihan terus menerus. Dengan mempertajam rasa ingin tahu dan kepekaan terhadap kondisi lingkungan (sosial, politik,ekonomi,dll). Melalui pengamatan. Menciptakan komunikasi dengan pelanggan kita (audience). Mempelajari segala sisi yang mungkin bersinggungan dengan mereka. Dan mematangkan semua materi itu dalam ruang diskusi lintas disiplin, sebagai upaya mempertajam cara pandang tentang pasar. Dari wisdom inilah, kreatifitas mengalir dengan arah jelas. Proses yang rumit memang, karena produk TV adalah produk intangible. Seperti halnya yang dihasilkan ujung pena J.K Rowling.

Tendean, 25 Februari 2006.

Author: Arief Adi Wibowo

Experience Business Executive, Lecturer at Universitas Indonesia (Communication Science/Media Management), Wakil Sekretaris Umum Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama/Ketua IKA Unair/Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s