Diingatkan istri karena akhir-akhir ini terlihat sangat emosional di media sosial. Saya bilang bukan urusan dukung 01 atau 02, utamanya. Beda episode dengan 2014, di mana saya bagian melekat dalam pemenangan Jokowi yang berada di panggung. Kali ini saya menikmati peran sebagai penonton saja.
Pemilu sekarang jauh lebih keterlaluan dari sebelumnya. Dulu perang propaganda lebih bersifat klandestin (terselubung, gelap, samar dan bawah tanah), yang paling mencolok adalah peredaran tabloid Obor Rakyat. Waktu itu saya ga peduli, lha wong Jokowinya juga sempat ga peduli. Baginya, fitnahan soal PKI ke dirinya dan almarhum ayahnya adalah penggugur kesalahan sang ayah.
Saat ini, permainannya menjadi terbuka lewat pernyataan, mimbar bahkan door to door. Itu pun saya ga urusan. Sudah jadi tugas tim sukses masing-masing. Mau upaya delegitimasi penyelenggara pemilu via hoaks kontainer surat suara palsu, 33 juta suara bodong sampai komisioner keturunan dan antek cina, itu urusan Arief Budiman (ketua KPU), komisioner KPU, Bawaslu dan polisi.
Kemarin menjadi “muntab” karena melebar ke industri tempat saya berkarya. Si profesor manipulatif melempar tuduhan manipulatif seolah media terbeli dan berbohong demi penguasa. Dalam hal ini, dilarang saya bersabar dan diam.
Sekali lagi bukan soal 01 atau 02. Tapi keadilan berpikir dan bertindak. Seperti kasus yang menimpa Mbak saya, Lestari Moerdijat, caleg Dapil Jepara-Kudus-Demak. Didiskreditkan sebagai non muslim, atau ada yang bilang Islam Liberal, bahkan ada yang cap anti Islam. Luar biasa kejinya, dan itu dilakukan oleh para aktor beragam latar belakang, baik di barisan 01 maupun 02. Aktor-aktor yang berebut jalan ke Senayan.
Waktu berziarah ke kota para wali ini, beberapa teman mengonfirmasi soal isu tersebut. Percaya mereka karena ucapan dari mulut ke mulut, komunitas ke komunitas, media penyampai pesan. Tentu saya kaget, banyak orang melakukan takfiri pada sosok wanita yang luar biasa ini. Si Ibu muslimah yang disiplin ibadahnya, Islam sejak lahir, seluruh waktunya dia gunakan untuk kebaikan, dan yang gamblang kesemua anak laki-lakinya bernama Muhammad.
Mbak Rerie, panggilannya, bukan job seeker yang mencari peruntungan ke Senayan. Saya pikir kesibukannya tidak sedikit sebagai CEO Media Group dengan lebih kurang 25 ribu karyawan, dan juga ketua Yayasan Sukma. Dia turun menyaleg semata karena kepatuhannya ke mentor beliau, Bapak Surya Paloh, untuk terjun sendiri memperkuat lembaga legislatif ke depannya. Dan, Mbak Rerie tidak memilih dapil, tapi Bang Surya yang perintahkan. Saya bilang, andai Dapil si Mbak di Purwokerto mungkin cerita lebih gampang, karena investasi sosial keluarga Moerdijat sudah berlangsung lama.
Kiprahnya di Yayasan Sukma banyak orang tidak tahu. Lestari Moerdijat adalah srikandi yang memikirkan pendidikan dan pemulihan anak-anak korban tsunami Aceh. Dia bekerja dengan tekun sejak awal sampai sekarang.
Saat meledak insiden penyanderaan pelaut Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf, tangan perempuan ini sembunyi-sembunyi bekerja keras. Jauh sebelum kejadian, Yayasan Sukma bekerja merawat anak-anak daerah konflik seperti kelompok Abu Sayyaf dengan memberi pendidikan terbaik. Jalinan kebaikan inilah yang membuat kelompok Abu Sayyaf ini luluh dan kemudian membebaskan semua sandera.
Saat ini dia gigih meluangkan sisa umurnya turun ke daerah pemilihannya dengan gagasan dan kerja nyata. Fokusnya adalah kesehatan dan pendidikan. Sebagai seorang survivor dari vonis kanker, Mbak Rerie paham benar kesehatan adalah syarat mutlak bagi bangsa yang kuat.
Kabar yang saya dengar tentang Bu Lestari Moerdijat, bisa jadi bukan satu-satunya. Di periode Pilkada DKI lalu, pernah hati saya pilu saat mendengar anak semata wayang umur 7 tahun cerita bahwa tim bola muslim mengalahkan tim anak kafir.
“Persekusi” atas dalil agama sedang mewabah ke negeri ini. Tempat di mana kita bersepakat dalam konsep negara kebangsaan (nation-state). Tidak ada pembagian warga dalam kategori kafir atau muslim di konstitusi kita. Infidel atau kofer. Tapi Warga Negara Indonesia atau bukan.