Di penghujung makan malam yang menyenangkan bersama Istri di Kawasan Plasa Senayan, kami mendapatkan kesempatan mendapatkan door prize. Dari kotak undian, selembar kertas dibaca, bukan sebuah hadiah discount atas makan malam kita, bukan juga hadiah lain, melainkan serangkaian kalimat. Sempat kami sedikit kecewa, namun buru-buru bersyukur atas pemberian dalam secarik kertas itu.
“Jangan menunggu inspirasi untuk memulai tindakan. Melainkan, bertindaklah untuk memberikan inspirasi.” Begitu kira-kira isi dari hadiah itu. Hadiah yang menyentil diri sendiri untuk mengingat kembali arti tindakan. Maklum, sebagian besar karir profesional dan latar belakang pendidikan lebih berkutat pada perhitungan dan perencanaan.
Kepiawaian dalam perencanaan tidak serta merta membuat seseorang piawai dalam mengeksekusinya. “Planning the work, sangat berbeda dengan working the plan. Dalam perencanaan, Anda hanya dihadapkan pada resiko di atas kertas. Berbeda saat eksekusi, Anda akan bergelut langsung dengan resiko itu dalam dunia nyata. Dan, Sangat langka seorang pemimpin yang memiliki kedua kemampuan itu sama baik.” Begitu seorang teman yang pakar HR pernah berkata.
Banyak manajer sering berlindung pada kata “manajerial” untuk menghindari resiko gagal dalam eksekusi. “Toh, job description saya adalah merencanakan dan mengevaluasi. Jadi tugas saya memberi pekerjaan, dan marah-marah atas kegagalan dari pekerjaan itu.” Sebuah asumsi yang diperbaiki oleh Ram Charan dengan kritik tajamnya, bahwa manajerial adalah eksekusi.
Eksekusi adalah tindakan. Dan, dalam segala ketidakpastian, dan dinamika persaingan yang menuntut kecepatan, membuat eksekusi diharuskan melibatkan 3 hal : common sense, keberanian dan kelenturan. Common sense diperlukan untuk dapat menjaga kejernihan pikiran untuk mencapai semua tujuan yang sudah direncanakan. Logika yang sehat akan berusaha untuk mencari solusi terbaik dari sekian alternatif solusi atas setiap permasalahan yang muncul di tengah perjalanan eksekusi.
Keberanian, adalah perangkat lunak yang wajib dimiliki oleh setiap manajer. Terutama dalam menghadapi kata resiko yang secara kodratnya memang tidak bisa dieliminasi dalam perhitungan perencanaan. Keberanian, adalah atribut yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Bahkan dalam banyak literatur tentang seni memimpin, keberanian menentukan kualitas dari sang pemimpin itu sendiri.
Keberanian menyangkut bagaimana dia mengambil resiko atas tiap tindakan, termasuk kecepatan dalam mengambil keputusan. Melindungi orang yang dipimpinnya dari setiap kemungkinan kegagalan yang muncul. Di satu sisi, keberanian juga harus menyadari benar hakikat dari sebuah mekanisme pengambilan keputusan. Kadang sebuah keputusan untuk tidak melakukan apapun (do nothing alias diam) bisa jadi keputusan terbaik, namun bisa juga tidak. Semua bergantung kondisi.
Terakhir kelenturan. Kelenturan untuk membelokkan arah dari tujuan ketika terjadi krisis yang membuat tujuan awal menjadi tidak relevan lagi. Kelenturan sendiri menuntut level wisdom yang hanya akan dimiliki lewat perjalanan pengalaman dan kemampuan membaca pelajaran dari sang waktu.
Di akhir semuanya, selain tindakan, saya teringat kisah menarik dari perilaku mantan bos. Ketika selesai rapat yang membahas semua agenda penting, ketika semua rencana sudah dimatangkan, semua tindakan sudah disiapkan, Sang Bos lalu keluar ruang rapat. Dia berdoa dengan membawa dupa di tangannya (sesuai dengan agama yang dianutnya). Begitu khusyuk.
“Selalu ada kekuatan di atas kita. Itu sebabnya kita tidak bisa mengetahui hari esok kecuali mengira-ngira saja……” Kata Bos ketika ditanya mengapa dia harus berdoa seperti itu.