Masuk dalam babak baru, raksasa-raksasa media muncul dengan agresifitas yang luar biasa. Bukan saja dalam kekuatan kapital, namun lengkap dengan teknologi dan sumber daya manusia terbaik. Sebut saja, MNC, Trans Corp,dan super grup lainnya. Belum lagi penetrasi tv berbayar. Setelah Astro yang sempat fenomenal (meski harus berakhir karena masalah kongsi), ada pendatang baru Aora dan Telkomvision yang akan bertarung memperebutkan kue dengan pemain lama seperti Indovision dan Kabelvision. Kondisi ini membuat perubahan luar biasa dalam industri media khususnya riset media : pemirsa semakin terfragmentasi.
Contoh gampang dari fragmentasi ini adalah semakin kecilnya kue tiap pemain dalam industri. Di free to air misalnya, penguasaan share antara 4 besar tidak jauh berbeda angkanya. Dan dalam pengukuran kepemirsaan, semakin tipisnya perbedaan ini membuat kebutuhan terhadap besaran sample semakin tinggi. Sehingga pengukuran kepermisaan yang terfragmentasi ini masih dapat dilakukan dengan sampling error yang baik.
Masalah kedua dari industri ini terletak pada berubahnya sistem delivery-nya. Jika dulu, baik radio maupun TV di-delivery secara linear, sehingga letak kontrol materi apa yang muncul sepenuhnya pada para programmer,sekarang kemewahan itu mulai tergerus. Pemirsa memiliki kekuasaan yang semakin besar dikarenakan nonlinear delivery system dari media seperti video on demand (VOD), world wide web, dan DVR. Mengutip lagi ucapan John Malone yang legendaris mengenai 500 channel universe, dengan ratusan channel, maka pemirsa lah penentu apa yang mereka inginkan lewat jari mereka. Time-shifting program dan tingkat menghindari pesan komersial membuat semakin kompleksnya proses pengukuran kepemirsaan. Sebuah pertanyaan menarik dari James Webster patut direnungkan, if exposure is the currency used to transact business, what kind of exposure should we talking about?
Problem ketiga masih saling terkait dengan kondisi di atas. Konten media bergerak dalam multiplatform, faktor yang memungkin pemirsa tidak saja menentukan kapan dia memilih konten melain juga lewat medium apa. Televisi tidak lagi Cuma dinikmati di ruang keluarga, tapi bisa di sepanjang perjalanan dalam mobil, atau lewat handphone.
Semua kondisi di atas memunculkan tuntutan-tuntutan terhadap kepresisian, micro targeting audience. Sebagai misal, sebuah merek yang ditujukan bagi konsumen 18-25 tahun, tentu hanya tertarik dengan jangkauan pemirsa di interval usia tersebut. Total rating harus bisa dibreakdown ke dalam index dengan kata lain total rating sample harus bisa ditelusuri dalam subsample-nya.
Tuntutan makin tinggi untuk membuat alat ukur yang powerful dan memiliki fleksibilitas tinggi dalam mengukur konsumsi media. Membuat perusahaan-perusahan (Nielsen, Arbitron, TNS) yang bekerja di bidang ini terus mencari cara terbaru. Sistem diary yang berdasarkan catatan kebiasaan memirsa semakin ditinggalkan, digantikan oleh people meter yang memiliki kemampuan untuk melakukan tracking pemirsa dalam basis per detik. People meter merupakan metode pengukuran kepemirsaan TV yang memungkinkan pencatatan konsumsi media di rumah tangga. Set-box yang ditempelkan dalam perangkat televisi akan mencatat setiap channel yang ditonton. Kemudian rekaman aktifitas memirsa ini dikirimkan melalui jalur telpon, dikombinasikan dengan data-data lain dan dirangkum dalam sebuah pelaporan rating yang berlangsung dengan cepat setiap harinya.
Kesulitan yang kemudian muncul adalah tingginya tingkat kerjasama responden (anggota rumah tangga) dalam waktu lama. Kemungkinan terbesar munculnya apa yang disebut button-pushing fatigue membuat masalah tersendiri. Demikian pula dengan mobilitas responden. People meter tidak mampu mengikuti aktifitas responden di luar ruangan. Begitu juga dengan konsumsi mereka terhadap media lain.
Kesulitan di atas membuat people meter pun berevolusi, salah satunya dengan membuatnya menjadi portable. Atau yang sering disebut dengan portable people meter (PPM). Dikembangkan oleh Arbitron, sebuah lembaga pengukuran yang bertanggung jawab untuk mengukur tingkat pendengar radio di AS, PPM didisain untuk dapat mendengar kanal radio yang dipilih oleh pendengar melalui identifikasi gelombang. Di masa mendatang, PPM memungkinkan untuk digunakan dalam mengukur eksposure media cetak dengan menempelkan chip radio frequency identification pada media cetak. Atau, iklan luar ruangan dengan kombinasi teknologi GPS.
Problem dari PPM sama dengan people meter biasa, yaitu ukuran sample. Karena mahalnya teknologi ini. Saat ini pengembangan pengukuran kepemirsaan difokuskan dengan pemanfaatan handphone. Sebagai alat yang sudah umum digunakan oleh publik, ukuran sample bukan jadi masalah. Handphone kedepan akan diprogram untuk dapat mengidentifikasi gelombang dan memprosesnya menjadi informasi rating. Nielsen Media Research bekerja sama dengan Integrated Media Measurement Inc, dan kolaborasi Media Audit-Ipsos adalah institusi riset yang sedang mengeksplorasi pengembangan ini.
Menarik untuk diikuti…