Ketika Angka Tidak Cukup

Tulisan pendek ini merupakan ringkasan pergumulan yang terjadi di pikiran ini dalam beberapa waktu terakhir. Sebuah pertanyaan besar yang menggelayut di kepala, bagaimana sebenarnya cara memahami apa yang ada di kepala konsumen kita?

Dunia yang serba cepat geraknya. Bukan saja terkait dengan produk dan jasa yang sudah tidak mengenal batas-batas kaku wilayah, tapi juga menyangkut konsumennya. Kecepatan luar biasa ini terlebih membuat sebuah konsep menjadi cepat usang. Karena asumsi yang membangunnya segera cepat dihantam oleh perubahan. Karena hantaman ini menyangkut nilai. Karena nilai adalah dasar dari setiap gerak termasuk keputusan untuk membeli.

Saya masih ingat di awal-awal buku Hermawan Kartajaya. Beliau dengan cara sederhana mampu menjelaskan konsep-konsep pemasaran, sehingga mudah dimengerti oleh kalangan awam. Konsep-konsep yang berdasar pada beberapa asumsi utama:bahwa konsumen bisa direduksi dalam segmentasi, konsumen adalah makhluk rasional dalam keputusan termasuk membeli, dan sebagainya. Munculnya banyak hitung-hitungan matematis dengan aspek demografi sebagai patokan utama.

Dan pada pertemuan terakhir, guru Hermawan Kartajaya sendiri mengatakan bahwa demografis saja tidak cukup. Begitu pula dengan metode kualitatif lama. Bahkan dia menyebut masa depan pengukuran seperti di atas ada pada metode-metode baru yang sama sekali berada di luar metode yang lazim dipakai, seperti etnografi. Sekali lagi saya mungkin manusia yang beruntung, dalam kapasitas menggawangi riset SWA mempertemukan pada banyak orang hebat yang mengetahui secara detil teknik-teknik ini.

Teknik-teknik etnografi langsung muncul sebagai primadona baru, di kala teknik kualitatif lain seperti focus group discussion (FGD) sudah dianggap pula tidak mencukupi. Tidak mencukupi, karena menurut riset, cara verbal tidak menggambarkan secara utuh pola pengambilan keputusan konsumen. Cara berpikir konsumen lebih berdasarkan cuplikan-cuplikan visual. Sehingga ada yang hilang selama proses FGD.

Memang, masih banyak pertanyaan belum terjawab. Seperti waktu yang lumayan panjang untuk sebuah penelitian etnografi yang membutuhkan observasi panjang. Dan itu masih merupakan kekurangan mendasar dari metode ini, ketika dunia menuntut serba cepat terutama dalam proses riset dan pengembangan. Beberapa upaya dilakukan seperti memasukkan implementasi teknologi IT yang memungkinkan observasi secara on-line, namun tetap saja belum bisa mendapatkan hasil secepat metode kuantitatif.

Untuk fenomena di atas, Prof Agus W Soehadi dari Prasetya Mulya dalam sebuah diskusi secara bijak mengatakan, ” Mungkin di sinilah letak perkawinan kuantitatif dan kualitatif. Saling komplementer. Melengkapi satu sama lain.” Jawaban bijak, saat saya sengaja menyerang beliau dengan pertanyaan,”Apakah mungkin ini pertanda generasi Kuanti Prof Agus mulai digusur generasi Kuali Dr.Eka dengan Etnografinya…”

Cuma pertanyaan-pertanyaan yang tersisa. Masa sih ga ada unified theory atau teori segala-nya, seperti yang pernah diramalkan Einstein di tataran fisika teori? Atau memang seperti inilah realita dunia seperti yang diungkap Prof Agus. Bahwa letak keandalan sebuah pengukuran terletak pada seberapa “bijak” kita mengkombinasikan tools yang ada?

Mungkin inilah fenomena yang dimaksud Thomas Kuhn dalam salah satu bagian tulisannya di The Structured of Sciencetific Revolution. Di mana ilmu akan terus bergerak, yang menyebabkan begitu rapuhnya (sebenarnya) salah satu pijakan peradaban manusia ini….

Author: Arief Adi Wibowo

Experience Business Executive, Lecturer at Universitas Indonesia (Communication Science/Media Management), Wakil Sekretaris Umum Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama/Ketua IKA Unair/Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s