Saat tenggelam dalam kesibukan yang luar biasa menjelang D-day, seorang teman berteriak,”Pak, ada gempa di Pangandaran.” Innalillahi wa inna ilaihi roji’un….ternyata korban yang berjatuhan pun mencapai ratusan orang. Berita di koran, radio dan TV segera dihiasi dengan musibah nasional yang mahadahsyat untuk kesekian kalinya ini.
Bencana itu terasa menjadi dekat, dan hati menjadi turut larut dalam isak kesedihan yang berada puluhan kilometer dari Jakarta. Dan di dalam ruang kerja, di balik kekokohan struktur bangunan dan di hadapan seperangkat elektronik buah karya manusia….hati pun ikut terguncang.
Bukankah peradaban kita saat ini telah menciptakan banyak ilmuwan dan insinyur dalam jumlah yang tidak pernah terbayangkan di masa lalu? Bukankah peradaban kita telah begitu tinggi menjelajahi angkasa luar, menyelami arti misteri alam mikroskopi? Lalu kemanakah perginya ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah tertempa ribuan tahun itu dalam menjawab misteri alam bernama bencana ini?
Bila berkaca ke diri sendiri. Kemanakah kesombongan terhadap pencapaian akal dan karir selama ini? Kemanakah rasa aman dari lindungan beton baja saat sibuk mengurus pekerjaan? Semua lenyap. Bahkan saat gempa susulan, semua orang lari ketakutan, karena tiba-tiba saja kematian itu teramat sangat dekat.
Betapa mulia ratusan orang yang menjadi korban, dan ribuan sanak keluarga yang meratapinya. Semoga Tuhan mengampuni segala dosa selama hidup. Karena lewat mereka, pasti banyak pula hati yang terketuk:bahwa dibalik segala kemajuan peradaban ini, manusia tetap-lah manusia, makhluk yang lemah dan selalu akan tunduk pada iradah-Nya. Dan sesungguhnya, segala pencapaian itu sangat rapuh adanya.