Sinetron Politik 2019 : Pola Usang dan Aktor Lawas

*Drama 7 Kontainer*

Seharusnya masih segar dalam ingatan (kecuali memang pelupa, seorang Andi Arief membuat gaduh ruang publik dengan tudingan tajam adanya 7 kontainer berisi jutaan kertas suara ilegal. Langsung komentar bersahutan silih berganti.

Ada yang menuduh ini upaya masif rezim menggelembungkan suara, Jokowi maruk kekuasaan. Yang lain menohok penyelenggara pemilu lemah dan berat sebelah, bahkan ada meme yang dibuat orang yang mungkin sedang koplo pernah saya posting, Arief Budiman Ketua KPU adalah keturunan cina dan antek asing. KPU dan Bawaslu curang, bunyi makian yang menjejali media sosial.

Polisi bergerak. Tidak ditemukan apapun. Dan media menyorongkan mic ke sang peniup peluit gaduh. Jawabannya luar biasa. Dia malah marah dituding bikin hoaks. Tenang tanpa dosa Andi Arief berkata,”saya cuma imbau untuk lakukan pengecekan!”

http://www.tribunnews.com/pilpres-2019/2019/01/03/komentar-andi-arief-setelah-unggah-kabar-7-kontainer-surat-surat-telah-dicoblos-bantah-sebar-hoax

Sebagai politisi dia sukses. Dapat atensi media dan publik. Bagus untuk elektoral. Urusan berapa banyak dosa atas prasangka buruk hingga sumpah serapah yang salah alamat, bukan soal bagi Andi Arief. Dia pun masih percaya diri akan terus diminati media massa, karena kontroversi masih jadi parameter jaminan rating dibandingkan kejujuran.

*Drama Amien Rais*

Dalam kontestasi multi partai sudah pasti konsekuensinya adalah persaingan demikian tinggi, berebut atensi publik adalah syarat awal yang harus dimenangkan. Seorang begawan politik semacam AR pasti sudah khatam.

PAN, perahu besar yang diisi marga “Rais” dan besan-kerabat-orang dekat sang begawan pastilah berhitung parlementary threshold harga mati. Dan itu tidak mudah, sebagai partai tengah mencapai angka 4% butuh perjuangan ekstra. Apalagi survei-survei awal (yang pasti harus segera distempel si Begawan sebagai barang tidak sahih) trend elektoral PAN cenderung turun.

Hitungan matematis saat ini dalam situasi head to head Jokowi versus Prabowo episode 2, sudah pasti publik kembali terpolarisasi. Pro dan Kontra. Mengail di segmen kontra Jokowi adalah pilihan politik yang dipilih setelah Ketum Zulhas hingga detik terakhir gagal melabuhkan koalisi ke petahana.

Bermain di isu-isu yang dinikmati oleh publik kontra Jokowi adalah pilihan rasional yang harus dimainkan. Dan isu kecurangan salah satu terseksi (sebenarnya karena malas saja mengulik dan mencari narasi lebih cerdas). Menjual ketakutan dan ancaman paling efektif mempengaruhi manusia, sistem kerja otak kita demikian adanya.

Kali ini si Eyang berjualan isu 33 juta suara palsu. Dan tentu saja beliau yang dimaksud adalah “indikasi”. Mungkin beliau terinspirasi oleh kecerdikan Andi Arief yang sampai kini tak tersentuh sempritan bawaslu karena kegaduhan bodongnya.

http://www.tribunnews.com/nasional/2019/03/01/amien-rais-sebut-ada-31-juta-dpt-bodong-di-pemilu-2019

Ditanya seorang teman, saya jawab meragukan info Pak Amien soal 33 juta itu. Angka tersebut mustahil di era keterbukaan dan transparansi saat teknologi informasi dapat memotret hingga mendistribusikan data dan fakta dengan cepat.

Kalau pun ada celah, kemungkinan sebagian area pinggir seperti Papua, pedalaman kalimantan, maluku, sebagian pedalaman sumatera dan pelosok sulawesi. Itu potensi menggelembungkan tidak mungkin jutaan, terlalu mencolok lonjakannya, memudahkan lembaga pengawas sipil/bawaslu/NGO nasional-Internasional hingga media menelusurinya. Apalagi di era ini Daftar Pemilih Tetap (DPT) bisa dilihat secara terbuka.

Hasilnya bisa ditebak, peluru kosong Pak Amien sepi sambutan. KPU pun sambil lalu. Membuat sang begawan tua ini meradang, meskipun beliau happy karena masih mendapat “spot light” dari media dan perhatian dari die hard kontra Jokowi.

https://m.detik.com/news/berita/d-4449806/tak-bertemu-komisioner-kpu-amien-rais-tinggalkan-massa-fui

Peluru kedua soal audit sistem IT. Bagi orang yang biasa memahami prosedur pemilu kita, entah sebagai panitia di TPS, konsultan politik atau pencari berita pasti akan langsung tahu bahwa sistem rekapitulasi kita seperti kebanyakan negara yang masih berkembang demokrasinya lebih ke paper based dibanding IT-based (boro-boro IT based. E-KTP untuk single identity yang habis triliunan anggaran era sebelumnya cuma jadi kartu plastik!)

Formulir C1 di TPS menjadi dokumen dasar yang menentukan kualitas demokrasi bersih atau terjadi fraud. Di era sekarang, relawan, sipil, LSM pengawas pemilu, media hingga pollster bisa akses formulir ini secara bebas di era reformasi ini (Di orde baru, jangan coba-coba)

https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190302142020-32-373985/kpu-sebut-audit-it-usulan-amien-rais-tidak-relevan?utm_source=facebook&utm_medium=oa&utm_content=cnnindonesia&utm_campaign=cmssocmed

*Belajar dari Sitkom Politik 2014*

Tidak mudah membuat fraud di era reformasi ini karena keterbukaan informasi demikian luas. Selain LSM pengawas pemilu, peserta pemilu sendiri atau penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu, media dan pollster memegang peranan.

Metode ilmiah seperti parallel vote tabulation (PVT) atau yang publik Indonesia sering menyebutnya Quick Count (QC) atau hitung cepat adalah salah satu metode ilmiah untuk mengawal hasil pemilu.

Dikembangkan di filipina untuk mengawal proses demokrasi yang kerap dimanipulasi oleh rezim otoriter Ferdinand Marcos, QC cukup efektif sebagai salah satu alat kontrol.

Mencuplik formulir C1 secara acak dari lebih dari 1200 tps atau rata-rata suara yang terekam di kisaran 400 ribu lebih, membuat akurasi QC cukup baik. Kualitas quick count terlihat dari selisih dengan real count KPU biasanya di bawah 1%. LSI di 2014 bahkan mencatat selisih hanya 0.22%.

Membedah validitas QC pun sebenarnya mudah. Tinggal pollster diminta membuka seluruh data TPS, untuk mencocokkan dengan real formulir C1. Mulai dari Denny JA, Hanta Yudha, Syaiful Mujani sampai Burhanudin Muhtadi pernah berujar,”Hanya pollster yang nekad yang berani mempertaruhkan reputasinya di Quick Count.”

2014, sitkom politik ditandai dengan upaya mengacaukan obyektifitas publik dengan memanipulasi publik lewat menciptakan tiga pollster abal-abal yang ditampilkan di stasiun berita ternama. Kemunculan tiga pollster abal-abal di menit terakhir ini cukup mengejutkan. Hasilnya bisa ditebak, melawan arus kebanyakan pollster lain termasuk real count KPU sendiri.

Saya pernah ditanya Putra Nababan, seperti apakah potensi sengketa pemilu dengan posisi suara Jokowi-JK 53,15% berbanding Pak Prabowo-Hatta 46,85%. Jawaban saya cepat dan tegas,”mustahil disengketakan.”

Sengketa pemilu bukan proses yang gampang dimanipulasi. Pencocokan antara dugaan kecurangan dengan formulir asli dan data pendukung dilakukan ketat. Dan selisi 53% dengan 46% itu berarti selisih lebih dari 8 juta suara!

Makin mudah ditebak saat publik minta pollster abal-abal tersebut membuka datanya lewat asosiasi resmi yang memayungi lembaga pollster, semua pollster gadungan ini pun raib. Dan yang saya sayangkan tidak ada sanksi berat pada individu, pollster hingga stasiun berita yang bermain dalam aksi manipulatif memalukan yang kadung membuat publik gaduh, panas dan saling curiga.

Era reformasi memang memberikan kita ruang kebebasan yang luar biasa. Seringkali kebebasan itu disalahgunakan dengan melakukan pembohongan, fitnah dan hasutan keji. Sudah sepantasnya kita dengan kejam menghukum para aktor yang hanya peduli kepentingan diri dan golongannya dengan menghalalkan segala cara.

Karena hanya berharap dan berdoa para aktor ini kembali mengenakan etika kejujuran dalam permainan politik seperti pungguk merindukan rembulan. Bisa jadi mereka sudah tidak peduli itu atau sudah kehilangan ketajaman nalar, seperti sulitnya membedakan Ratna Sarumpaet dan Cut Nyak Dien.

Author: Arief Adi Wibowo

Experience Business Executive, Lecturer at Universitas Indonesia (Communication Science/Media Management), Wakil Sekretaris Umum Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama/Ketua IKA Unair/Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia.

Leave a comment