
Saya menulis ulang status sendiri di Facebook awal pandemi bulan April 2020 dengan kegeraman pada diri sendiri, dan semoga kalian pun marah. Karenanya mohon maaf saya katakan, saya dan kamu itu bebal (dan saya pikir itu diksi paling netral dibandingkan “tolol”), tidak pernah mau belajar.
Kabar duka silih berganti, banyak kerabat terkena Covid. Tidak kah saya dan kamu risau mendengar suara ambulance meraung begitu sering mengangkut korban Covid? Atau potret rumah sakit dan tenaga kesehatan yang sudah kepayahan tidak cukup mengetuk hati kita? Dan, kini karena kebebalan kita menghadapi bencana kesehatan ini, kini sedang menanti bencana ekonomi di depan mata : APBN ngos-ngosan menutup defisit, makin banyak dunia usaha kolaps dan pengangguran terjadi di mana-mana.
Tahun pertama melewati pandemi kita mempertontonkan kebebalan yang sempurna sebagai sebuah bangsa. Para tokoh negeri minim teladan bahkan ngawur. Seperti di bawah ini contohnya :
Covid dianggap sepele karena “the power of empon-empon” alias jamu.
Atau si menteri yang bilang,”cuma flu biasa, nanti sembuh sendiri.”,
Ada ulama gemar yang pakai nama Tuhan dan ayat-ayatNYA bahwa tidak ada Covid di masjid atau Covid rekayasa kaum kafir,
Public figure pun ikutan ‘sotoy’ dengan bicara jangan tolak jenazah pasien Covid yang diperlakukan dengan protokol pandemi.
Si tokoh fulan menolak vaksin mulai dari alasan haram sampai ada chip dari intel Cina.
Entah karena bodoh benaran (saya kira tidak karena tingginya status mereka). Atau hanya mau cari sensasi biar makin ngetop. Wallahu ‘alam bish shawab. Saya cuma bisa berdoa agar hidayahNYA membuka pintu hati mereka agar tersadar bahwa ucapan dan tindakan mereka ini berdampak pada keselamatan jiwa orang banyak.
Rakyat pun ikut-ikutan. Dilarang mudik, polisi dan tentara yang menjaga ketertiban diumpat bahkan ditabrak. 2 juta pemudik lebih tetap menerobos penyekatan, dengan gagah berani membawa virus ke pelosok negeri termasuk menulari orangtua dan sanak kerabat mereka. Disuruh tertib prokes, tapi malah ‘petetang-petenteng’ menunjukan sikap sebaliknya. Diisolasi karena terpapar Covid malah kabur atau bahkan mengamuk sehingga petugas kesehatan pun ikut terpapar.
Percaya atau tidak, silahkan dibaca buku yang saya share tahun lalu itu. Kebodohan berjamaah itu terulang dari kejadian tahun 1918 silam dengan berbagai ragam bentuk modifikasinya.
Para sahabat, sekarang kita memasuki tahun kedua pandemi. Mari kita cukupkan kebebalan sampai di sini. Disiplinlah prokes, vaksinasilah segera dan taati peraturan. Mulailah dengan kesadaran hati bahwa perubahan perilaku itu bergantung kita sendiri.
Tanamkan di kepala kita :
Ada hak anak-anak kita untuk mendapatkan pendidikan yang layak atau sebagai orangtua kalian ikhlas 10 tahun sejak sekarang anak-anak kita menjadi generasi bodoh yang tidak kompetitif dibanding negara lain?
Ada kerinduan kita semua untuk beribadah seperti semula.
Ada keinginan hubungan sosial kembali normal untuk bisa bercengkrama dengan orangtua, kerabat dan tetangga.
Ada hak pengusaha dan pekerja untuk dapat kembali bangkit dari keterpurukan panjang ekonomi akibat pandemi.
Dan sampai kapan kita mau berdiam dalam bayangan kelam pandemi, hidup dengan kecemasan, menyaksikan satu per satu orang meregang nyawa karena keteldoran kita semua? Tidakkah kita iri melihat sorak sorai bangsa lain yang sudah lepas dari Covid ini. Mereka bisa demikian karena disiplin mereka sebagai bangsa jauh lebih baik dari kita.
Demi hari jum’at yang mulia ini, yuk kita tundukkan hati. Merenungkan benar pesan Tuhan lewat pandemi sehingga kita bisa memulai hari-hari baru mendatang dengan perilaku hati-hati dan disiplin.
Sejarah sedang menulis ulang kisahnya. Semoga kali ini, sebagai bangsa, kita tercatat mampu belajar dan bertindak benar melewati pandemi.
Bojonegoro, 25 Juni 2021.