Duduk Perkara BPJS

Jeda tadarus, gatel juga ikut nimbrung di lini masa media sosial soal BPJS. Menurutku kebanyakan marah tapi tidak paham konteksnya.

Musti agak ceermat membaca putusan MA No.7P/HUM/2020 tertanggal 31 Maret 2020 terhadap uji materi Peraturan Presiden No.75 tahun 2019 yang menaikkan iuran BPJS.

Di dalam Perpres No.75/2019 menaikkan iuran BPJS Kelas I dari Rp80 rebu menjadi Rp160 ribu, Kelas II dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu dan kelas III dari Rp25.500 jadi Rp42 ribu.

Dalam putusannya, MA tidak pernah sama sekali membatalkan isi keseluruhan Perpres 75 tahun 2019 itu. Putusan MA itu hanya membatalkan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) mengenai besaran iuran bagi peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU).

Artinya yang dibatalkan hanya iuran untuk Kelas III.

Dalam tempo 90 hari sesuai putusan MA itu pemerintah harus sudah membuat aturan baru tentang iuran BPJS. Jika tidak maka putusan MA itu harus diberlakukan sesuai dengan aturan lama. Maka sekarang Presiden mengeluarkan Perpres No.64/2020 tentang iuran baru BPJS.

Ketentuan yang baru adalah Kelas III tetap Rp25.500/orang/bulan, Kelas II dari Rp51.000 menjadi Rp100.000/orang/bulan/ (sebelumnya Rp110.000) dan kelas I dari Rp80.000 menjadi Rp150.000/orang/bulan (sebelumnya Rp160.000).

Jadi utk kelas III tidak berubah. Mengenai kekurangan iuran untuk kelas III akan ditanggung pemerintah melalui bantuan iuran pemerintah.

Kenaikan iuran BPJS untuk orang mampu (kelas II dan I) sudah sewajarnya dilakukan untuk menolong keuangan negara. Karena defisit keuangan BPJS dari tahun ke tahun sudah menguras uang negara. Tahun 2019 saja, menurut Bu Menkeu Sri Mulyani, defisit BPJS mencapai Rp32 T-an dari prediksi sekitar Rp28,9 T. Di sini argumentasi dari sisi fiskal maupun dari sisi hukum tata negara ‘make sense’ dengan keluarnya Perpres 64 tahun 2020 soal kenaikan iuran kelas I dan II.

Nah, sekarang apakah salah kekecewaan publik yang sampai menganggap kena “prank” pemerintah?

Jawaban saya enggak. Kok bisa? Saya juga bagian dari yang kecewa.

Pertama, tidak ada sensitifitas dari pembuat kebijakan. Situasi sedang sulit. Tekanan ekonomi maha dahsyat ke semua segmen masyarakat. Pastilah price sensitive untuk hal apapun yang berdampak pada pengeluaran rumah tangga. Kedua, sepertinya tabiat periode ini, komunikasi publik (ngapunten sanget) buruk sekali.

Harapan saya sih, defisit BPJS segitu “ditelan” aja dulu di situasi begini, toh Perppu 1 thn 2020 sudah kasih ruang memperlebar ruang defisit APBN. Mosok iyo, ngasih makan start-up pelatihan online sebesar 5,6 T aja bisa, nalangi kesulitan rakyat terkait iuran BPJS ora iso?!

Wis ah. Maaf jadi ‘ngerasani’ Pak Presiden dan para pembantunya. Semoga diberi kesehatan dan kekuatan memimpin negeri ini melewati ujian pandemi.

Sebagai rakyat jelata, saya lanjut i’tikaf aja 😇

Author: Arief Adi Wibowo

Experience Business Executive, Lecturer at Universitas Indonesia (Communication Science/Media Management), Wakil Sekretaris Umum Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama/Ketua IKA Unair/Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s