Setiap kelas mata kuliah saya di Universitas Indonesia, setiap kesempatan berbagi sebagai pembicara di kampus dan di setiap kesempatan berinteraksi dengan mahasiswa saya, selalu saya sisipkan pertanyaan untuk mengganggu kenyamanan mereka. “Apakah kalian tidak salah ambil jurusan? Apakah lapangan pekerjaan masih tersedia untuk profesi kalian? Dan berbagai pertanyaan serupa kepada para calon pemimpin negeri ini tersebut.
Kita berada pada zaman yang perubahan terjadi demikian cepat. Model bisnis dengan cepat tidak relevan. Teknologi dengan cepat usang, dengan tingkat penemuan terjadi dengan akselerasi yang luar biasa.
Kedigdayaan teknologi komputasi sudah mulai terlihat saat super komputer ‘deep blue’ menekuk dengan mudah pecatur paling jenis dalam sejarah, Kasparov, di tahun 1996. Kecerdasan buatan kemudian berkembang pesat membuat otomasi bekerja lebih cepat dan cerdas menggantikan tenaga manusia.
Ada karib saya dulu berusaha menghibur diri bahwa peradaban manusia tidak akan pernah dikalahkan mesin, karena kita memiliki rasa. Eh, siapa bilang mesin tidak, terbukti rasa manusia terbentuk oleh algoritma mesin pencari google saat mencari kuliner terenak di kota yang baru kita singgahi.
Lalu bagaimana kemanusiaan bisa berdiri tegak menjawab hal ini?
Tidak ada ruang untuk malas. Saya selalu katakan, jangan merasa gagah dengan jaket kuning dan duduk kuliah di gedung serta fasilitas nan wah. Karena akses terhadap pengetahuan di era ini terjadi nyaris tanpa sekat ruang dan waktu. Saat kita duduk tekun menyantap ilmu dari dosen, di belahan dunia lain, mahasiswa sebaya mereka pun melakukan yang sama. Determinasi menjadi faktor pembeda, siapa bekerja tekun, dia pemenang.
Saya sendiri tidak pernah tahu masa depan akan berakhir seperti apa. Jangan-jangan usai menulis catatan ini, profesi saya pun terdistrupsi dan saya tergantikan. Tapi saya punya pondasi keyakinan, manusia adalah ‘masterpiece’ ciptaan Tuhan, yang disebut oleh Sang Penciptanya sendiri sebagai yang sempurna. Akal-tubuh-hati kita dilengkapi instrumen Ilahiah bernama ruh. Menurut keyakinan pribadi saya, modal terbaik yang dimiliki manusia adalah kemanusiaan itu sendiri.
Bisa jadi, solusinya sesederhana mengubah cara pikir kita sendiri. Toh, ini bukan situasi yang baru sama sekali. Bukankah peradaban kita pun pernah galau bahwa tenaga otot manusia tergantikan dengan tenaga mesin uap yang lebih kuat dan murah di awal era revolusi industri?
Optimisme dan keberanian berkompetisi adalah dua hal yang kita butuhkan sekarang di tengah krisis kepercayaan diri sendiri seperti yang ditunjukkan oleh foto adik kita di demo hari buruh lalu. Di penutup tiap kelas saya selalu katakan, di detik ke-0 eksistensi diri sebagai manusia, kita adalah pemenang. Ya, kehidupan bermula dari sosok pemenang. Kita berawal dari kompetisi super keras sel sperma ayah kita yang telah menyisihkan berjuta-juta sperma lain. Melewati lingkungan yang sulit ditaklukkan oleh ukuran ‘kita’ waktu itu. Tapi manusia memenangkannya.
Selamat hari pendidikan nasional!